“Dan dalam ruangan ini juga kami melibatkan generasi ke tiga dan keempat dari keturunan Indonesia-Belanda atau campuran barat timur yang masih ingin mempertahankan akar keturunannya yaitu Indonesia,” kata Leslie.
Menurut Leslie, mereka tertarik dengan batik dan mencoba memperkenalkan kombinasi batik dari Indonesia dikombinasikan menjadi suatu produk yang didesain secara modern.
“Ada stan Batik Island yang bercerita tentang sejarah batik. Selama ini, kita hanya tahu batik yang dipakai kaum ibu yang dikenal sebagai jarik, padahal dulunya para bapak juga menggunakan celana batik lho, di abad ke 18 dan 19. Di sini ada foto dan ceritanya,” kata Leslie.
Batik-batik tersebut tak hanya dipamerkan tetapi juga dijual.
“Mereka antusias untuk mempertahankan batik yang memang ada kisah dibalik karya mereka,” kata Leslie kepada Wartaeropa.com.
Dia pun mengaku bahwa kesuksesan penyelenggaraan Tong Tong Fair adalah berkat dukungan para sukarelawan dan seniman pengisi acara, serta kehadiran para pengunjung setia.
”Saya terharu juga melihat antusias para sukarelawan yang ingin terlibat di TTF tahun ini, juga para seniman pengisi acara seni, musisi dan penulis buku dan tentu para pengunjung setia,” kata Leslie.
Seorang pengunjung keturunan Indonesia-Belanda, Chanel mengaku rela menempuh perjalanan lebih dari dua jam untuk menikmati suasana Tong Tong Fair, yang sarat dengan nuansa Indonesia, baik pergelaran seni budaya, maupun stan-stan yang ada di dalamnya.
“Saya datang ke sini tahun ini, bersama orangtua saya, karena ada banyak musik yang bagus dan makanan yang enak yang berkaitan dengan budaya Indonesia yang sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja,” kata Chanel, keturunan Indonesia yang tinggal di Deventer, yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Den Haag.