Penulis: Rieska Wulandari

Milan, Wartaeropa.com – Dari skandal pembukaan olimpiade di Paris kita belajar bahwa seperti halnya unconditional love (cinta tanpa syarat), kita tidak boleh saling abuse (menyakiti).

Demikian pula diversity (keberagaman), tidak berarti boleh offend (menyinggung) orang lain.

Freedom of speech (kebebasan berbicara) bukan berarti boleh insult (menyinggung) siapa pun, terutama dalam konteks yang sangat formal dan kelas internasional.

Hidup manusia itu penuh paradoks. Tapi begitulah caranya untuk mencapai keseimbangan: kita ingat petuah leluhur, menjadi yang paling kuat bukan berarti boleh menginjak yang lemah.

Pelajaran lain: Leonardo da Vinci, seniman jenius dari Italia yang karyanya dipelesetkan itu berada di Milan.

Aksi yang mereka sebut parodi penutup itu bukan melukiskan situasi The Last Supper (Perjamuan Terakhir) yang menyinggung Yesus dan kekristenan, tapi melukiskan dewa lain, yaitu dewa anggur dan pemabuk dari kaum Pagan.

Tapi sadarkah mereka bahwa warna biru juga merepresentasikan Khrisna Dewa Hindu. Jadi tetap saja ada yang kesenggol.

Belum lagi cara mereka mencoba “mengklaim” Leonardo sebagai milik Prancis. Padahal dia jelas-jelas orang Italia. Ini pula yang sangat menjengkelkan bagi orang-orang Italia.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *