Pembukaan Olimpiade Paris Dinilai Sukses Sekaligus Tuai Kritik Tajam

Pesan yang ingin disampaikan Jolly pada dunia adalah masyarakat Prancis terdiri dari berbagai ras, seni, budaya, dan menerima semua orang, apa pun orientasi seksualnya.

Acara pembukaan yang kontroversial

Balon udara di Jardin de Tuilerie. (Foto: Sita Phulpin)

Namun tak ada gading yang tak retak. Kendati pelaksanaan acara pembukaan tersebut dinilai sukses oleh lebih dari 85% masyarakat di Prancis, beberapa pertunjukan yang ditampilkan menuai kritik tajam, utamanya dari dunia internasional.

Dari dalam negeri Prancis, kritik dilontarkan oleh beberapa tokoh politik, terutama dari komunitas Kristiani.

Konferensi Uskup Katolik Prancis menyesalkan bagian parodi yang dianggap mengolok-olok kristianisme, meskipun tetap memuji keberhasilan panitia menampilkan pentas yang indah penuh keceriaan ke seluruh dunia.

Menjawab tuduhan menghina kristianisme, Thomas Jolly dalam jumpa pers menjelaskan, dirinya tak ada niatan untuk menyinggung kelompok agama tertentu.

Menurutnya, yang diparodikan oleh para seniman komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) sebenarnya bukanlah lukisan Leonardo da Vinci yang berjudul Perjamuan Terakhir (The Last Supper).

Lukisan yang dimaksud menggambarkan makan malam terakhir Yesus bersama para rasulnya sebelum ditangkap dan kemudian disalibkan.

Jolly beralasan, parodi yang ditampilkan didasarkan pada lukisan Pesta Para Dewa karya pelukis Belanda Jan Van Bijlert (1590-1671).

Lukisan yang dibuat pada abad ke-17 itu terinspirasi dari sebuah pesta dalam mitologi Yunani di kota Olimpia, lokasi olimpiade di zaman klasik.

Di Place Vendôme, masyarakat antusias menyambut obor olimpiade. (Foto: Sita Phulpin)

Dalam panggung tersebut, tampil pula Dewa Dyonosos, dewa anggur yang nyaris telanjang dengan seluruh tubuh dicat biru.

Pertunjukan ini merepresentasikan Prancis yang dikenal dunia sebagai negeri anggur.

Untuk meredakan kemarahan dunia internasional, juru bicara panitia Olimpiade Paris meminta maaf atas pentas parodi yang tanpa disengaja ternyata menyinggung umat Kristiani seluruh dunia.

Ketika melihat acara pembukaan, beberapa teman penulis yang beragama Katolik menyatakan tak punya pikiran bahwa yang ditampilkan adalah parodi lukisan Perjamuan Terakhir.

Penulis bahkan baru sadar setelah membaca beberapa kritik dan kemarahan yang berseliweran di linimasa Facebook tentang parodi tersebut.

Sebenarnya, umat Kristiani di Prancis sendiri sudah ‘terbiasa’ diolok-olok.
Tak ada resiko yang berarti saat memparodikan kristianisme. Paling-paling umat Kristiani di Prancis bisanya cuma menggerutu.

Pemerintah Prancis juga tak akan bisa berbuat apa-apa.

Di negeri ini, hanya ujaran rasis atau dianggap menebar kebencian terhadap suatu ras, agama dan orientasi seksual, yang bisa menyeret pelakunya ke penjara.

Sedangkan olok-olok agama masuk dalam ranah kebebasan berekspresi.

Mungkin yang terlupakan oleh sang sutradara adalah bahwa acara pembukaan tersebut ditonton oleh jutaan, bahkan miliaran orang dari seluruh dunia.

Dari berbagai kalangan dan usia, termasuk anak-anak.

Negara-negara anggota IOC (Panitia Olimpiade Internasional) memiliki nilai-nilai, keyakinan dan sistem pemerintahan yang berbeda.

Di beberapa negara, acara pembukaan tersebut tak bisa dinikmati ulang karena disensor.

Di luar polemik itu, jika dicermati, semua yang ditampilkan adalah cermin masyarakat Prancis yang selalu ingin gebrakan, progresist dan tidak pernah takut berpolemik.

Inilah yang membuat masyarakat Prancis unik dan menarik dengan pikiran yang terkesan nyleneh.

Pola pikir, selera seni dan humor masyarakat Prancis yang terkadang tidak umum, tak mudah dipahami oleh mereka yang tidak tinggal dan ambyur di tengah-tengah masyarakat Prancis.***

Foto Headline: Maskot Olimpiade Paris 2024. (Foto: Sita Phulpin)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *