Sajian pembuka pertama berupa “Udang Gohu”. Resep ini berasal dari Halmahera. Sebagai konsep makanan pembuka atau insalata, Chef Ragil memadukan udang segar segar mentah dengan jeruk bernuansa pedas, yang terbuat dari bumbu aromatik.
Hasilnya, sebuah sapaan dengan ledakan rasa yang meriah di mulut. Pedas? Tidak sama sekali! Kelezatan dan kesegaran paduan dari udang, jeruk, aroma bumbu dan percikan cabai, sungguh memesona.
Tiram-sagu dan oyster-kecombrang
Selanjutnya, “Clam Noorhosori,” resep asal Papua, yang masih berperan sebagai menu pembuka. Sajiannya, tiram yang diselimuti sagu dan kelapa parut yang dipanggang. Rasanya? Serasa berada di tepi pantai Raja Ampat. Sebuah buaian dari tepi pantai yang indah menyegarkan.
Lalu, penulis “diajak pulang kampung” ke Tanah Pasundan, lewat sajian “Oyster with sambal kecombrang.” Siapa lagi, kalau bukan orang pesisir Jawa Barat yang sangat doyan kecombrang atau bunga tanaman jahe ini.
Aduh, kenikmatan kerang segar yang ditaburi cabai dan potongan halus kembang kecombrang, benar-benar menghadirkan kesegaran alami pesisir selatan Jawa Barat yang masih perawan!
Chef Restoran Hotel Mulia
Sebelum memasuki menu utama, penulis ingin menyampaikan, kenapa Marco Feltrin, pemilik Restoran Feria yang pernah menjadi chef di Hotel Mulia Jakarta selama tiga tahun, berkutat dengan makanan Indonesia di sebuah kota yang berada di bagian utara Italia.
“Restoran kami sangat terinspirasi oleh makanan, rempah-rempah, dan budaya Indonesia. Saya dulu bekerja di Hotel Mulia Jakarta selama tiga tahun. Dan istri saya, Ibu Sriyanti adalah orang Indonesia. Jadi saya punya banyak pengaruh, bahkan di rumah di Italia, untuk makanan Indonesia,” ujarnya.
Namun demikian, Marco yang memiliki keahlian memasak dan memahami standar rasa lidah Italia, justru mencoba melakukan sesuatu yang berbeda. Ia sengaja mengambil segmen kelas atas sebagai cara mereka mendekati publik Italia utara.
Sebagai gambaran, Italia terbagi dalam karakter utara-selatan, dimana secara stereotipe karakter penduduk Italia utara di atas Venesia, dikenal “snobbish”, bahkan di mata penduduk Italia utara sekalipun.
Maka, mendekati lapisan snob dengan menu Indonesia yang sophisticated, bagi Marco adalah “satu-satunya jembatan”.
“Makanan Italia sangat populer, makanan Indonesia masih harus berkembang. Itu adalah misi kami,” ujar Marco, yang selalu tampak rendah hati. Sangat mengharukan.
Pasta yang sakral
Memasuki rangkaian menu sup dan mie, di sini keahlian Chef Ragil benar-benar diuji. Pasalnya, orang Italia menganggap pasta sangat sakral, dan membumbui pasta ada “aturan non verbal”, namun dipatuhi semua orang. Dalam bahasa Indonesia mungkin sama dengan “tata krama”.
Untuk sajian sup, Chef Ragil menghadirkan “Gangan Seafood Soup” dari Bangka Belitung. Menu ini berupa sup ikan segar dengan mie sagu yang menawarkan keseimbangan antara bumbu dan tekstur mie. Betul-betul menyajikan keindahan dan keseimbangan alam Belitung yang lestari, pantai maupun ekosistem hutan alaminya.
Selanjutnya, Mie Gomak, yang dibuat dari mie tebal dengan inspirasi kuliner Batak yang mengandung citarasa andaliman, yang sangat penting dalam tradisi sajian Sumatera Utara.
Menyenangkan juga, menikmati pasta yang memiliki cita rasa saus kari yang sangat halus namun tetap nikmat meski tanpa kuah.
Selera Indonesia dan Italia hampir sama
Chef Ragil kepada penulis menyampaikan bahwa masakannya ini menawarkan pengalaman kepada penikmat kuliner Italia, bahwa sebenarnya selera kedua bangsa ini hampir sama.
“Saya menggunakan makanan laut produksi pantai mereka untuk dipadukan dengan resep dan ‘bumbu’ kita. Karena saya juga memperkenalkan beberapa makanan khas, bukan dilihat dari segi keanehannya, tapi cita rasa khas Indonesianya itu yang ingin kita perkenalkan,” tuturnya.
Sayur lodeh sebagai menu utama
Memasuki menu utama, Chef Ragil membawa pengunjung beralih, dari Sumatera Selatan ke Jawa tengah.