“Mereka berdalih pembayaran harus dilakukan lantaran korban sudah diterima agency runtime di Jerman,” kata Brigjen Djuhandani.
Setelah LOA terbit, korban juga masih diwajibkan membayar uang 200 euro (sekitar Rp 3,3 juta) ke PT SHB untuk pembuatan approval otoritas Jerman (working permit) sebagai persyaratan pembuatan visa.
Kemudian, korban juga dibebankan menggunakan dana talangan sebesar Rp30 juta sampai Rp50 juta yang nantinya akan dipotong dari penerimaan gaji setiap bulannya.
Setibanya di Jerman, korban langsung disodori surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman.
Surat kontrak kerja itu ditulis dalam bahasa Jerman yang tidak dipahami para mahasiswa tersebut.
Karena mereka sudah telanjur berada di Jerman, mereka mau tidak mau menandatangani surat kontrak kerja dan working permit tersebut.
Seolah-olah masuk program Kemdikbud Ristek
Brigjen Djuhandani menjelaskan, program magang ke Jerman atau ferienjob itu disosialisasikan ke pihak universitas oleh PT Cvgen dan PT SHB -dua agen penyalur tenaga kerja.
Dalam menjalankan aksinya, kedua agen tersebut mengklaim program magang ke Jerman itu terdaftar dalam magang merdeka dari Kemdikbud Ristek.