Berbekal kearifan ini, orang Sunda memilih untuk hidup seperlunya, setiap rumah mereka ada ruang kecil kosong bernama padaringan yang di bagian sudutnya menjadi tempat beras dan tentu saja sesajen untuk dipersembahkan pada sang suwung, sang energi, Sang Hyang.
Orang Sunda dengan spiritualismenya memilih untuk harmoni dengan alam, bercengkerama dengan energi, dalam keseharian, mereka mengaturnya dalam dua prinsip: menjadi humble dalam pertapaan tapi sekaligus menjadi sakti. Kemudian muncullah seni beladiri silat, yang mengasah jiwa juang para ksatria.
Konsep Suwung sendiri pernah dibawa oleh tim delegasi Indonesia dalam ajang Art Biennale di Venezia tahun 2019, dengan judul Sunyata.
Saya datang ke sana dan menuliskan laporannya untuk harian Pikiran Rakyat, Bandung. Sekali lagi, itu surat kabar yang lahir di tanah kelahiran prinsip suwung.
Apakah seniman Italia ini terpesona pada karya orang Indonesia yang memang brilian sejak zaman purba?
Entahlah. Tapi alasan Garau membuat karya kasat mata Io Sono adalah untuk menampilkan energi, persis prinsip spiritualisme orang-orang Sunda.
Bedanya, saat mendengar kata Suwung, orang Sunda langsung bergidig dan terpuruk dalam prinsip klenik.
Sedangkan orang Italia menganggap ini sebagai konsep pembebasan, bisa dijual di arena seni dan ramai dalam tawar menawar khas orang bule yang senang mengklaim ide!***