Jalan kaki selalu menjadi trend. Malah anak saya baru saja mendapat jam tangan yang ada indikator langkahnya, untuk melihat berapa banyak mereka jalan kaki. Di kelas anak saya, diberlakukan siapa yang mendapat nilai langkah terbanyak, akan mendapat hadiah. Menarik, bukan?

Nah, hal-hal seperti ini disikapi dengan salah di Indonesia. Orang kita berpikir bahwa dengan tinggal di luar negeri, maka kita otomatis akan mendapat kenyamanan yang nilainya personal plus komunal tadi. Salah besar.

Nilai keuntungan komunal itu bisa kita dapat, karena pekerja di sini membayar pajak yang sangat besar, dan hasilnya jadi fasilitas publik yang nyaman tadi.

Misalnya soal jaringan air minum yang sudah eksis sejak zaman Romawi. Dan kota Roma menjadi salah satu bukti bahwa sistem penyaluran air bersih yang dibangun sejak 2000 tahun lalu, masih berfungsi cemerlang sampai sekarang.

Padang savana. (Foto: Rieska Wulandari)

Ingat pertemuan Yesus dan Zakheus dalam kisah Alkitab? Dia kan penagih pajak untuk dikirim ke Kerajaan Romawi. Maka jelas Roma tidak dibangun dalam semalam.

Wisatawan mancanegara tahu persis bahwa di Roma dan kota-kota bekas wilayah Romawi (termasuk di Mesir, Aljazair, Tunisia, Turkiye, Prancis, yang memiliki sistem tata air ala Romawi), anda cukup membawa botol air minum.

Saat botol kosong, di mana saja anda bisa mengisi botol atau minum langsung dari air mancur-air mancur yang ada di sudut-sudut kota dan pusat keramaian, seperti piazza dan alun-alun, spot sejarah dan terminal kendaraan umum.

Soal pajak, juga beragam. Pajak sampah, misalnya, mahalnya nggak “kaleng-kaleng”. Tapi ya memang pengolahan sampah di sini pakai teknologi modern yang sangat high tech, sehingga hasil pengolahan limbah bisa jadi energi penggerak moda transportasi. Dengan gas maupun listrik.

Karena sumber dayanya terbarukan dan dari bahan yang sangat melimpah dan tidak mahal, yaitu sampah, maka harga tiket transportasi di sini bisa murah.

Tapi setiap pengerjaan fasilitas publik ini ya butuh waktu. Misalnya 30 tahun untuk jaringan metro. Lama amat? Ya, karena upah buruh di sini mahal. Jadi pekerja yang terlibat sedikit. Kebayang kan kalau situasinya di Indonesia? Buruh banyak dan tidak semahal di Eropa, mungkin hanya dalam 7-10 tahun bisa membangun satu jalur metro.

Tapi kenyataannya, kok sulit sekali membangunnya di Indonesia? Itu bukan karena kita tidak punya uang atau skills. Itu lho, dananya diambil “tikus”. 🙈🙈.

Balik lagi ke Italia. Untuk urusan kenyamanan personal, misalnya dalam hal membayar pembantu, baby sitter, sopir dan OB, itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sangat-sangat kaya atau kaum old money. Yakni mereka yang sudah mapan sejak generasi kakek buyutnya.

Kalau anak generasi sekarang, ada yang bisa mapan karena berprofesi sebagai bintang sepakbola klub internasional atau influencer di media sosial. Pemain bola bekerja keras sejak usia 5 tahun, latihan seminggu lima kali, dan simultan sampai mereka masuk kategori tunas (pulcini), remaja (primavera), pemuda (under 18), sampai profesional.

Makanya, komentar musisi Ahmad Dhani -yang kini jadi anggota DPR- soal kawin mengawin pemain bola itu, cuma hasil otak kotor cari jalan pintas aja. DNA nggak akan ada artinya kalau tidak dilatih. Kok jadi melenceng ngomongin AD? Maafkan, curcol.

Memang saat ini yang gaya hidup bintang sepak bola paling mewah itu kalau punya apartemen termahal di kota, sopir pribadi, layanan dan fasilitas terbaik, karena sudah ada kontrak. Bagi yang sudah berkeluarga, ya keluarganya dapat fasilitas super jetset juga.

Meski bukan pemain bola, kok secara umum warga Eropa nyaman hidupnya? Ya nyaman karena didukung oleh teknologi, misalnya mesin cuci pakaian, mesin cuci piring, penyedot debu, dan alat masak yang canggih. Itu semua jadi kebutuhan primer di sini.

Semua ibu rumah tangga tak akan dapat memenuhi kewajiban domestiknya tanpa dibekali alat ini. Siapa yang membekali?

Itu karena suami istri di sini keduanya bekerja. Jadi mereka kerja keras membangun rumah tangga dan finansial bersama. Mungkin ada juga kontribusi kekayaan keluarga salah satu atau kedua belah pihak.

Di sini, pasangan tak menikah juga tak apa, asal jelas komitmennya untuk saling setia dan jelas pembagian beban finansialnya. Semuanya transparan.

Secara umum, saya perhatikan, di Italia warga tidak harus kaya untuk bisa menikmati hidup layak. Tapi jelas harus mau bekerja keras dan punya standar hidup yang manusiawi. Orang di sini juga cenderung bekerja sesuai passione (minat) mereka. Jadi mereka umumnya bahagia.

Mereka juga menganggap liburan itu sakral. Misalnya kalau secara finansial cukup untuk liburan 3 minggu dengan gaya backpaking, ya itulah yang mereka lakukan. Kalau mau dengan gaya hidup bak artis Hollywood, ya harus upgrade penghasilannya.

Orang sini juga tidak harus ke mana-mana pakai mobil mewah. Toh ada sistem transportasi umum.

Dalam berpakaian, yang penting sesuai dengan tema. Misalnya apakah makan malam formal, atau makan malam di gereja yang humble, atau pesta alumni di kampus yang banyak acara fun dan games, pesta kembang api di tepi pantai yang casual, atau coctail di kapal pesiar mewah, atau menonton opera di Teater La scala yang elit, ya jelas jenis pakaiannya tidaklah sama. Yang penting pakaiannya sesuai dengan tema acaranya, tidak “saltum”.

Kebanyakan orang Italia hidupnya malah sangat membumi, karena mengikuti ajaran Katolik yang mengajarkan kesederhanaan. Kalaupun menggunakan pakaian berkelas, akan sangat sublte, hanya terlihat dari materialnya yang keliatan superior, tapi brandnya malah cenderung disembunyikan.

Hidup di luar negeri tampaknya indah. Tapi apakah orang Eropa diam saja di negerinya sendiri? Tidak juga. Anak muda di sini didorong untuk keluar dari zona nyamannya untuk mencari tempat yang lebih baik.

Mereka yang baru lulus didorong untuk bekerja di luar negeri, cari pengalaman, membangun jaringan, dan yang terpenting, menguji ketahanan mental dan profesional mereka.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *