Kalau anak-anak ini pulang, ya disambut. Kalau tidak pulang, ya akan dijenguk oleh orang tuanya. Ini menjadi alasan untuk liburan ke luar negeri.
Apapun keputusannya, itu dianggap sebagai keputusan orang dewasa, tidak ada intervensi dari orang tua. Orang tua, hanya akan menjadi motor pendukung.
Orang Indonesia itu, malah ingin ke luar negeri tapi tak tahu persis apa saja yang dimiliki negerinya sendiri. Istilahnya, “kurang keluar di dalam”.
Saya yakin, lebih banyak anak muda Jakarta yang sudah pernah ke Singapura daripada ke Pulau Tanimbar. Padahal, itu ada di wilayah Indonesia. Indahnya minta ampun. Potensinya juga banyak.
Di luar negeri ini, sumber daya alam terbatas. Musimnya juga gonta-ganti. Orang-orang lebih individual, meski saat bersama mereka sangat baik, ramah dan perhatian. Tapi jangan harap meminta limpahan emosi dan waktu dari mereka, kalau anda bukan “someone special”.
Beda antara luar negeri dan dalam negeri adalah, di luar negeri sampah itu diolah menjadi energi untuk bahan bakar transportasi publik, sehingga kota-kotanya terlihat asri dan nyaman, karena sampah tidak dianggap sebagai limbah, melainkan sebagai sumber kekuatan baru.
Sedangkan di Indonesia, sampah dianggap tidak ada harganya dan tidak ada gunanya. Akibatnya, kota dan desa, gunung, lembah dan hutan, dipenuhi tumpukan sampah.
Kalau banjir, sampahnya turut naik, hanyut, dan berserakan di mana-mana. Boro-boro mikirin transportasi publik, mau bernapas saja sudah sumpek duluan, yekan?
Jadi apa yang krusial? Mendorong anak-anak muda agar lebih banyak keluar di dalam? Saya pasti ditertawakan, karena harga tiket pesawat rute penerbangan dalam negeri lebih mahal daripada tiket ke luar negeri.
Ya itulah kesalahan sistem di negara kita. Sudah tahu negaranya besar dan luas, tapi tidak memberi kesempatan pada anak muda untuk mengenal negaranya sendiri.
Di Italia, secara hukum anak berusia 18 tahun sudah dianggap dewasa, sehingga mereka boleh mencari penghasilan dengan cara bekerja paruh waktu. Misalnya menjadi kasir, pelayan toko, asisten pendaftaran di klinik dokter, kemudian uangnya mereka tabung.
Untuk apa? Untuk melakukan perjalanan dan mencari pengalaman! Di sini, sekolah-sekolah libur sampai 3 bulan. Anak anak SMA dan mahasiswa yang sudah punya uang sendiri menggunakan waktu dan honornya untuk mengeksplorasi negerinya.
Pakai apa? Pakai kereta! Di sini ada paket transportasi untuk siswa selama 3 bulan yang harganya tidak sampai Rp 500.000. Mereka bisa pergi ke mana saja di seluruh Italia selama 3 bulan.
Tentu saja anak-anak muda ini punya opsi, mau gaya backpacker, camping, menyewa apartemen, atau tinggal menumpang di warga lokal. Semua bisa diatur.
Biasanya mereka berangkat secara berkelompok dengan besties masing-masing. Pulang dari liburan 3 bulan, gurunya akan bertanya, “ngapain aja selama liburan?”
Karena sistem liburan 3 bulan ini berlaku untuk anak TK, SD, SMP, SMA, dan Universitas, maka sejak kecil anak-anak terbiasa menceritakan perjalanannya kepada teman dan guru sekolahnya.
Makin tinggi level sekolahnya, presentasinya pun makin rumit. Dari sekedar mengumpulkan tulisan, benda khas (misalnya kerang kalau dari pantai), mengirim kartu pos dari lokasi liburan, bahkan presentasi manajemen perjalanan kalau sudah SMP dan SMA.
Bagaimana soal keselamatan untuk anak-anak usia 18 tahun yang sedang melakukan perjalanan ini? Sejauh ini, jarang sih ada kabar misalnya penodongan, penjambretan, pemerkosaan di kawasan-kawasan terpencil. Malah bisa dibilang zero case. Kalaupun ada, sangat istimewa dan jadi berita nasional. Itupun jaraaaang sekali.
Lalu, setelah kuliah dan menikmati masa eksplorasi dan banyak melakukan kegiatan yang konteksnya “keluar di dalam” ini, barulah mereka mencoba peruntungan di luar negeri, dengan pemahaman yang penuh mengenai situasi mereka di dalam negeri.
Jadi ketika mereka keluar, mereka sudah bukan orang yang gumunan (banyak heran), mereka sudah tahu orientasi, sudah tahu adab atau cultured, sudah punya kekuatan finansial, ilmu dan skill, dan setidaknya kemampuan untuk survival paling dasar.
Nah, kita sudah di tahap itu belum? Tampaknya masih banyak yang harus diperbaiki ya? Kalau pesawat mahal, ya pakai kapal laut lah. Bangun jalur kapal laut yang menarik. Pusatkan di Jakarta, Surabaya, Makassar, Bali, Flores, sebagai poin-poin pelayaran domestik yang sifatnya turistik, bukan logistik atau tranportasi angkutan umum. Tapi fasilitas turistik yang komunal, macam kereta di Eropa. Ekonomis, aman, nyaman, terjangkau, bisa diandalkan.
Pasti seru sekali mengarungi Indonesia dengan berlayar. Island hoping men! Bayangkan berapa besar dampak ekonomi yang bisa diraup dengan turisme macam ini? Saya jamin, para wisatawan mancanegara juga akan berbondong-bondong ikut trip ini!
Siapa sepakat? Toh anak anak sekolah yang SMA dan kuliah liburnya 1 bulan, bahkan 3 bulan.
Eh. Tapi kalau tetap mau pindah ke luar negeri, nggak apa-apa juga, asal jangan menganggap ketika berhasil ke luar negeri, masalah selesai. Bisa jadi masalahnya makin kompleks. Atau malah anda jadi beban negara karena dianggap pendatang ilegal akibat kurang dokumen dan harus dideportasi.
Amsyong itu namanya. Jadi gimana? Mau tetap #kaburajadulu?***
Keterangan: foto diambil di perairan Pulau Komodo, dalam penugasan Jurnalistik dengan Mainichi Shimbun, Jepang, Mei 2008.
*)Rieska Wulandari, Jurnalis di Italia, penulis buku Indonesia Unexplored.