Dalam manuskrip ini juga disebutkan bahwa penduduk membayar pajak yang disebut panggérés reuma atau pare dongdang untuk panen yang surplus (berlebih), juga kapas timbang berupa pajak kolektif dari sebuah wilayah (jadi ingat simbol Pancasila padi dan kapas – di teks ini jadi paham bahwa simbol padi dan kapas adalah kontribusi rakyat pada negara, untuk kesejahteraan negara).
Dalam manuskrip Carita Parahyangan disebutkan, Pancakusika yang menjelma menjadi lima Sang Kandiawan dan Kandiawati yaitu:
Sang Mangukuhan menjadi pahuma atau orang yang bekerja di lahan tanpa irigasi (Huma/ladang).
Sang Karungkalah menjadi panggerek atau pemburu.
Sang Katungmaralah panyadap : menjadi kaum penyadap (karet dan sebagainya).
Sang Sandanggreba menjadi pedagang sandang.
Sang Wretikandayun : menjadi raja.
Dalam komunitas Sunda, lahan tanpa irigasi disebut Huma, Huma beet, Gaga dan Serang Ageung. Orang Sunda juga memiliki alat pertanian yang afektif yaitu kujang, patin, kored.
Tome Pires menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda disebut Dayo (Dayeuh) ditempuh dalam waktu dua hari dari pelabuhan Kalapa ke arah dataran tinggi.
Penduduk kota menempati rumah yang indah terbuat dari kayu dan atapnya dari daun palem.
Raja bermukim di sebuah istana yang terbuat dari 330 pilar kayu besar berdiameter seukuran tong minuman anggur, dengan tinggi 9 meter.
Bagian atas pilar dihias dengan indah. Ibu kota Dayeuh itu bernama Pakuan Pajajaran.
Dalam catatan Marcopolo yang ditulis pada 1278 disebutkan bahwa di Jawa dan di Jawa kecil (Sumatera) orang lokal memanen minuman anggur (fermentasi) dari pohon yang bentuknya seperti palem, dan pohon itu menghasilkan dua jenis anggur, baik yang berwarna putih maupun yang berwarna merah (kemungkinan besar merujuk pada nira yang berwarna bening dan minuman berbasis gula aren yang berwarna merah).
Menurutnya, kerajaan lokal sangat makmur karena perniagaan komoditas ini.
Marcopolo adalah seorang penjelajah, Anak bangsawan Nicolo dari Venezia, yang bukunya diberi judul Il Milione (sang jutawan).
Adolf Winkler, yang berkunjung ke Pakuan Pajajaran pada 1690 mengatakan, kota ini terletak di antara dua sungai yang pararel, yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane, dan istananya bernama: Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Berdasarkan namanya, para ahli memperkirakan, istana ini terdiri dari lima gedung yang berbaris dari Utara ke Selatan.
Dari nama tersebut, banyak istana di tanah Sunda juga bernama Sura, misalnya di Galuh, Kawali, yang bernama Surawisesa dan Banten Surasowan.
Untuk pekerjaan sehari-hari, raja dibantu seorang Mangkubumi, yang mengontrol pekerjaan Wado, mantri, nu nangganan, dan syahbandar, yaitu seorang yang bertugas mengatur perdagangan di pelabuhan-pelabuhan milik Raja.
Sementara wilayah-wilayah jajahan dipimpin oleh raja wilayah yang wajib membayar upeti pada raja utama.
Jika raja mangkat, maka akan digantikan oleh putranya. Jika tak ada putra maka dapat digantikan oleh perwakilan raja dari wilayah jajahan melalui sistem pemilu.
Tanah Sunda pesisir juga berbisnis dengan saudagar dari Pariaman (Sumatera Barat) yang menjual kuda, emas, Cendana, Barus, sutra, lilin, madu.
Saudagar Sunda juga memiliki kapal dan berdagang hingga Malaka jauh sebelum Malaka menjelma menjadi pelabuhan yang sibuk.