Oleh: Rieska Wulandari *)
SEJAK pemerintahan baru bekerja, ada saja berita tentang penemuan potensi korupsi.
Dan yang paling heboh adalah korupsi di Pertamina, kasus BBM oplosan. Kasus korupsi kasus emas Antam yang muncul sebelumnya, kalah pamor.
Kenapa korupsi BBM lebih viral? Karena lebih banyak orang beli minyak daripada beli emas. Selain itu, masalah BBM selalu sensitif karena menyentuh semua lapisan masyarakat dan semua jenis bisnis.
Setelah itu, berita korupsi tetiba muncul bak cendawan di musim hujan. Lalu, ketika membaca kasus korupsi-korupsi di berbagai instansi ini, warganet terheran-heran dan ternganga. “Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa di negara religius ini korupsi malah banyak? Kenapa di tengah orang-orang yang baik, korupsi justru makin menjadi?”
Tahukan anda kenapa? Ya, tak lain dan tak bukan, karena ANDA, yang bagian dari netizen ini juga TERLALU BAIK!
Inilah paradoksnya dunia. Di tengah kebaikan masyarakatnya, justru yang jahat malah menjelma jadi kuat. Kok bisa?
Begini. Orang Indonesia itu sangat sopan, ramah, mengalah, santun, banyak toleransi, cinta damai. Intinya cari ketenangan dan tak suka konflik. Sikap yang bagus kan?
Iya dong, sikap-sikap yang sangat penuh aroma surgawi.
Masalahnya, karena prinsip di atas tadi, orang Indonesia ini jadi tumpul. Jadi tak bisa banyak mengalanisa ketika diberi tugas, sudah terlanjur patuh pada unggah-ungguh, budi pekerti, tatanan sosial penuh hormat pada atasan, senior atau yang lebih tua.
Hasilnya, ketika ada penugasan yang sifatnya manipulatif, apa jawaban sebagai anak buah? SIAP PAK.
Ada tugas yang sifatnya fiktif? SIAP PAK. Lalu yang abusive? SIAP LAKSANAKAN PAK. Yang melanggar hukum, etika? GAMPANG ITU PAK. Yang membohongi orang miskin, orang mampu dan tak punya? JANGAN KHAWATIR BOS.
Yang sifatnya ngemplang, menilap, menduplkasi, mencontek, menjiplak? “TENANG AJA PAK” Yang menelepon Anda di luar jam kerja dan nyuruh kerja lembur tapi ga ada uang tambahan? “OH, SIAP SIAP”.
Kenapa begitu? Tak lain tak bukan, karena mencari damai, mengurangi konflik, tidak ingin dimusuhi dan takut punya musuh, takut tak punya kawan. Makin banyak musuh, makin jauh surganya.
Hasilnya, proyek fiktif yang awalnya Cuma nilai 2 juta, melonjak jadi 20 juta, lalu meningkat jadi 200 juta, lalu eh naik jadi 2 M, lalu hajar aja di 22 M, lalu melaju di 200M. Lalu tak tanggung-tanggung lagi, 2 T.
Terus mau sampai nilai berapa? Mau sampai tak hingga? Sampai surga aja jangan jangan musti ngutang sama koruptor RI?
Coba perhatikan, korupsi bertingkat ini, prosesnya tak makan waktu lama, cukup 1-2 dekade saja, tiba tiba negara kita yang tampaknya maju secara ekonomi, mengumumkan kerugian-kerugian di kantor-kantor BUMN, padahal bayar listrik, beli tiket pesawat, bayar telepon, beli BBM warga selalu pakai uang cash, mana bisa ngutang dahulu, tapi kok kantornya miskin papa, rugi terus katanya.
Mengherankan, 280 juta manunsia dengan 17.000 pulaunya, 150 gunung api vulkaniknya, ratusan tambang mineral, minyak, gas, logam, batuan mulia, galian pasir, belerang, garam dan sebagainya, tetap saja rakyat sengsara.
Negeri ini memiliki tanah paling subur di dunia, tapi petaninya miskin. Laut paling luas, tapi nelayannya melarat. Negeri paling kreatif tapi pengrajiannya tak terawat, ilmuwan banyak yang cerdas tapi hidupnya tak jelas, jurnalis jangan ditanya lagi, kembang kempis!
Sudahlah, itu profesi paling sial, sudah kewajibannya banyak, pekerjaannya berat, honornya kecil, masih dibully juga oleh netizen dianggap sebagai buzzernya bohir.
Coba, kapan terakhir anda berkata “tidak” pada atasan yang abusif, pada rekan kerja yang manipulatif, pada kolega yang bullying, pada partner yang curang, pada vendor yang nakal, pada klien yang sebenarnya pelaku kriminal?
Bisa jadi anda tidak pernah mengatakannya, karena khawatir dianggap tidak “luwes” dalam bekerja.
Kita juga kerap memberikan “benefit of the doubt” pada kemungkinan manipulator karena pelakunya justru sangat halus berbicara, sopan santun, anggun, berperilaku sangat handap asor dan suka mentraktir.