Ini semua, karena kita diajar untuk jadi orang yang baik, bukan orang yang profesional.
Orang baik akan selalu minta maaf meski dia tidak salah, orang profesional tidak akan minta maaf bahkan akan menyuruh counterpartnya untuk minta maaf meskipun itu atasannya atau partner yang menopang bisnisnya, kalau mereka salah, ya salah: Please say sorry to me, I am not happy.
Orang profesional, berani berkata tidak, bukan karena dia arogan, tapi karena tahu bahwa kiprah dalam kariernya itu, membawa nama baik dan reputasinya secara pribadi.
Pernah di kantor, ada rekan sejawat yang bilang: Wah, bapak kepala Divisi X itu baik banget sering nyapa dan suka nraktir, tapi pas saya bekerja mengurus sebuah proyek dengannya, saya lihat dia engga ada nilai baik-baiknya, bahkan tidak profesional dan cenderung, maaf, culas.
Di situ saya heran, apakah saya punya standar yang berbeda atau orang ini bersikap secara berbeda kepada saya?
Ternyata memang dia sikapnya berbeda saat berkaitan dengan proyek dan keuntungan finansial, serta saya juga memang rasanya beda standarnya dengan orang kebanyakan, dan saya bangga soal ini.
Saya tahu, frontal bukanlah ramuan yang paling afdol dalam hal meniti karier. Oleh karena itu, cobalah untuk menyampaikan keberatan-keberatan itu dalam sebuah argumen yang tidak bersifat personal.
Artinya selalu lengkapi diri dengan data yang valid, timeline yang kronologis, kalimat yang argumentatif tapi murni dan jelas.
Serta perspektif yang tulus dan benar, bahwa niat Anda meng-counter kebijakannya itu bukan karena urusan suka atau tidak suka, tapi karena ada hal-hal yang lebih penting dan prioritas untuk kepentingan orang banyak.
Kenapa kita sulit sekali menjadi orang yang berani? Karena dalam agama, disebutkan pertentangan adalah dosa.
Nah karena takut berdosa, maka orang yang niatnya baik, jadi menghindari pertentangan, masalahnya, hal yang seperti ini, jika dibiarkan, Anda yang tadinya tak ingin ribut, malah masuk dalam posisi sebagai grup manipulator, penipu dan pembohong.
Lalu kalau semuanya bersikap seperti ini, maka terjadilah situasi yang epidemik, semua kantor melakukan hal yang sama, dan kemudian bangkrut pada titik yang sama.
Mengapa bisa-bisanya Anda heran-heran sekarang kok korupsi terjadi, kok bisa sampai triliunan, kok begini kok begitu?
Sementara tak lain tak bukan, ini terjadi karena Anda sendiri menghindari posisi untuk menjadi kritis dan selalu ingin nyaman sendiri, menghindari konflik, padahal keputusan Anda yang ingin terlihat menyenangkan di kantor itu, tak lain adalah keputusan yang mendukung trend korupsi berjamaah tadi.***
*)Jurnalis di Italia, penulis buku Indonesia Unexplored.