“Begitu berkelanjutan. Kayu yang berasal dari Indonesia mesti berkelanjutan, dan bersertifikasi,” tutur Feltrin.
Berbagai perusahaan meubel dunia yang hadir di pameran ini, kepada Warta Eropa mengaku bahwa material mereka berasal dari Indonesia, bahkan dikerjakannya juga di Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu berbasis di Italia, Spanyol dan Belgia.
Salah satu perusahaan dari Belgia mengakui bahwa Indonesia sangat luar bisa dalam hal menyediakan material bahan dasar.
Selain itu, pengrajinnya mampu mewujudkan desain yang mereka siapkan untuk memenuhi minat dan permintaan pasar Eropa dan dunia.
“Sebagian produk kami dibuat di Indonesia. Saya dan keponakan saya membuat desain sendiri. Kebanyakan produk yang kami pamerkan berbahan kayu jati,” ujar seorang pengusaha Belgia.
Perusahaannya membuka cabang di Indonesia, berkedudukan di Semarang dan Cirebon. Seluruh produk dikerjakan dengan tangan oleh para pengrajin lokal. Jadi mereka berkontribusi pada perekonomian Indonesia.
Perusahaan itu mampu meraih nilai transaksi lebih dari 4 juta euro hingga 80 sampai 90 juta euro per tahun.
Inovasi baru

Namun saat ini material alamiah semakin langka, sehingga Arper, sebuah perusahaan Italia, mulai mengembangkan inovasi baru.
Bekerja sama dengan Papershell, Arper mendaur ulang kertas dan limbah plastik, yang kemudian digunakan sebagai bahan produk meubel mereka.
Menurut Sandro Bartoletti, Chief Financial and Operative Officer Arper, pada tahun lalu material baru Papershell, yang digunakan di Cativa 53, adalah material yang bisa didaur ulang.
“Perusahaan kami satu-satunya di dunia yang menerapkan penggunaan material daur ulang untuk kursi,” ujar Bartoletti.
Pihaknya tahun ini membuat produk yang lebih canggih dalam hal daur ulang, yang disebut Cativa 46 -produk paling best seller yang dibuat sepenuhnya atas permintaan pelanggan.
“Plastik sisa produksi yand didaur ulang adalah produk paling penting di masa datang. Dan ini menjadi pilar kami untuk masa depan. Kami adalah pelopor di pasar,” pungkasnya.***