- Soal kekerasan seksual
Paus Fransiskus menerapkan kebijakan baru untuk menangani kasus kekerasan seksual oleh klerus, termasuk mekanisme pelaporan yang lebih transparan dan pemberhentian beberapa tokoh gereja ternama yang terbukti bersalah.
Kendati tak lepas dari kritik atas pendekatannya yang masih hati-hati, ini adalah komitmen nyata untuk memperbaiki luka lama di tubuh Gereja.
Sekitar satu tahun setelah memulai kepausannya, Paus Fransiskus menyatakan “tidak ada yang melakukan lebih banyak” daripada gereja dalam menindak para pedofil di kalangan klerus, dan memuji “transparansi” gereja.
Pada 2014, dalam pertemuannya dengan korban pelecehan seksual para imam, Paus Fransiskus menyebut para imam itu sebagai “kultus yang tidak bermoral.”
- Pembelaan terhadap kaum marjinal
Mendiang Paus Fransiskus juga terkenal dikenal sebagai “paus bagi kaum yang terpinggirkan.”
Ia konsisten menunjukkan empati terhadap komunitas LGBT, pengungsi, dan kelompok yang selama ini merasa tak punya tempat di dalam Gereja.
“Siapakah aku sehingga bisa menghakimi?” ujar Paus, menjawab pertanyaan soal homoseksual.
Ini menjadi simbol pendekatan penuh belas kasih yang tidak pernah ditunjukkan secara eksplisit oleh pemimpin Gereja sebelumnya.
Paus juga berupaya membuat Gereja lebih ramah terhadap kaum LGBT, membuka pintu untuk pemberkatan bersyarat bagi pasangan sesama jenis pada Desember 2023, dan membatasi penggunaan misa tradisional menggunakan bahasa Latin yang tidak banyak dimengerti umat Katolik di seluruh dunia.
Sepanjang masa kepausannya, Paus Fransiskus meninggalkan terobosan yang mengubah wajah Gereja Katolik.
Gaya kepemimpinannya yang rendah hati, inklusif, dan penuh terobosan menjadikannya sosok unik dalam sejarah kepausan.
Kebijaksanaan dan keberaniannya akan terus dikenang oleh lintas generasi. Selamat jalan, Paus Fransiskus.***
Sumber: dari berbagai sumber.