
Tak patah arang, mereka terus mencari peluang. Lewat jejaring diaspora dan kenalan Molly di Belanda, KPM akhirnya tampil di dua acara budaya besar: Indisch Den Haag di Zeehelden Theater (9–10 Mei 2025) dan Museum Sophiahof (11 Mei). Mereka membawakan tarian dari berbagai penjuru Indonesia: Puang Ngeloneng (Betawi), gabungan Naiak Padi, Piring, Indang (Sumatera Barat), Nyerap (Kalimantan Barat), hingga Saureka Reka (Maluku).
Sambil Menari, Menjenguk Anak di Eropa
Ternyata, sebagian anggota KPM memiliki anak yang sedang kuliah di Belanda dan Jerman. Maka tampil di Eropa menjadi lebih bermakna: sambil menari, mereka bisa menjenguk buah hati. “Sekalian menjenguk anak, sekalian melestarikan budaya. Sambil menyelam minum air,” kata Molly tersenyum.

Antusiasme luar biasa mendorong 26 penari, termasuk pelatih mereka Suprijadi Arsjad, terbang ke Belanda. Tak mudah—biaya ditanggung sendiri, hanya sebagian ditutup dana Kemendikbud Ristek sekitar Rp15 juta per orang. Untuk pelatih, mereka patungan Rp2 juta per anggota agar bisa ikut.
Mereka menyewa vila delapan kamar, apartemen, atau hotel murah di sekitar Scheveningen dengan biaya sekitar 50 euro per malam per orang.