Sejenak Menikmati Suasana Indonesia di Pasar Kecil Indo Garden Wilp Belanda

Penulis: Yuke Mayaratih

Wilp, WartaEropa.com – Di sebuah sudut tenang Belanda, di antara desa-desa tua dan padang rumput yang mulai menguning, aroma sate ayam terbakar perlahan. Musik berdentang dari pengeras suara kecil, membawa irama Poco-poco ke telinga orang-orang yang tengah duduk bersila di atas rumput. Hari itu, Kamis 29 Mei 2025, Wilp bukan lagi Wilp. Ia berubah menjadi bagian kecil dari Indonesia—lengkap dengan rasa, suara, dan kenangan.

Taman Indo Garden, sebuah ruang terbuka yang didesain menyerupai lanskap kampung halaman, menjadi tuan rumah acara bertajuk Pasar Kecil. Sebuah nama sederhana untuk sebuah upaya mempertahankan identitas dan nostalgia. Di antara patung-patung kayu, becak tua, dan gerobak kaki lima, berkumpul sekitar 150 pengunjung yang sebagian besar adalah warga keturunan Indo—campuran darah Indonesia dan Belanda—yang tak ingin ingatan tentang akar mereka menguap begitu saja.

Tidak ada panggung megah, tidak ada sistem tiket rumit. Pengunjung cukup membayar parkir dua euro dan membeli koin plastik seharga tiga euro per keping untuk mencicipi makanan dan minuman yang dijajakan. Di bawah tenda-tenda sederhana, gado-gado lengkap dengan telur rebus dan kerupuk, nasi goreng komplit dengan acar dan sambal, serta Rijsttafel disajikan dalam porsi hangat oleh Suara Gembira, satu-satunya katering yang bertugas hari itu.

Di satu sudut lain, lemper, pastel, dan risoles berukuran besar dipajang rapi. Satu koin untuk satu potong. Namun perhatian lebih besar tertuju pada stan sate ayam. Api kecil terus menyala di atas tungku, mengepulkan asap dan aroma kacang manis. Sate disajikan dalam kemasan kertas berbentuk segitiga, lima tusuk dengan siraman bumbu kacang dan taburan bawang goreng. Harganya: dua koin, atau enam euro.

Musik, Tari, dan Ingatan yang Bertahan

Tak hanya rasa yang disuguhkan, tetapi juga irama dan gerak. Musisi Ben Heart dan Duo Ginger tampil membawakan lagu-lagu penuh semangat yang mengundang tawa dan tarian. Tidak butuh aba-aba, tubuh-tubuh mulai bergerak serempak dalam Poco-poco dan line dance. Di antara mereka, perempuan dan laki-laki dengan rambut perak dan logat Belanda yang kental ikut berjoget. Di sinilah budaya tidak sekadar dilihat, tapi dijalani kembali.

By Redaksi

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *