Penulis: Yuke Mayaratih
Reeuwijk, WartaEropa.com – Sabtu siang yang cerah di penghujung Juni membawa suasana tak biasa ke kota kecil Reeuwijk. Aroma rempah khas Indonesia menyambut dari pintu masuk Gedung Zaal De Brug, menyatu dengan tawa hangat dan canda berbahasa Indonesia.
Kota yang terletak di antara Rotterdam dan Den Haag itu seolah menjelma jadi “kampung halaman dadakan” bagi ratusan diaspora yang merayakan ulang tahun ke-16 komunitas Indonesians Living in Holland (ILH).
Dengan suhu 26 derajat Celsius, musim panas Eropa seakan memberi panggung bagi semangat tropis yang dibawa para tamu. Hampir semua mengenakan busana bercorak bunga, membawa warna-warni Nusantara ke utara.

“Kalau ILH bikin acara, pasti gezellig!” ujar Pien Liem Purba, salah satu pendiri ILH, mengutip kata dalam bahasa Belanda yang bermakna hangat, akrab, dan menyenangkan. Ia tersenyum melihat banyak wajah baru bergabung. “Seperti keluarga yang makin besar.”
Rindu Tanah Air yang Tertuang di Piring
Acara dijadwalkan mulai pukul 12.00, tapi seperti biasa, baru benar-benar dimulai sejam kemudian. Tak ada yang keberatan.
Justru sebagian besar pengunjung langsung menuju meja makan, jantung dari setiap pertemuan diaspora Indonesia.

Ada nasi Padang racikan Mutty Marshudi, siomay, pempek, otak-otak, hingga rujak cingur yang disajikan dalam ulekan besar. Sajian yang bahkan jarang dijumpai di pasar malam Belanda. Kue panada, lemper, dan ketan serundeng pun jadi rebutan.
Harga mengikuti standar Eropa. Jajan pasar 3 euro, nasi Padang lengkap 16 euro, batagor 8 euro. Tapi tak terdengar satu pun keluhan.
Seorang pengunjung bahkan berkata sambil membawa risoles dan lupis, “Harga bisa disesuaikan, tapi rasa rindu ini cuma bisa diobati lewat makanan seperti ini.”

Dari Generasi ke Generasi
Thelma Tombeng, generasi kedua diaspora Indonesia yang lahir dan besar di Belanda, datang karena rasa ingin tahu. Meski tidak lancar berbahasa Indonesia, ia fasih dalam urusan dapur.
“Anak-anak bilang, masakan saya paling enak,” katanya bangga. Kali ini ia mencoba rujak cingur. “Rasanya mantap, tapi pedasnya luar biasa!”
Namun ia menyayangkan sedikitnya anak muda campuran, generasi ketiga, yang hadir. “Acara seperti ini kaya budaya, sayang kalau tidak diwariskan,” ujarnya.

Kekhawatiran soal pudarnya identitas Indonesia di kalangan muda diaspora memang menjadi pembicaraan hangat di antara para orang tua.
Di tengah suasana meriah, layar besar menayangkan potongan film dokumenter Slave Island, Sumba Bukan Pulau Budak. Film yang diproduksi oleh share-doc.org ini menyoroti praktik perbudakan modern di Nusa Tenggara Timur.
Sutradaranya, Jimmy Hendricks, seorang warga Belgia, turut hadir dan menjelaskan latar belakang filmnya.
