Penulis: Rieska Wulandari
Milan, Wartaeropa.com – Perang menimbulkan keprihatinan dunia. Namun prihatin saja tidak cukup. Sebagai salah satu negara tujuan para pengungsi perang, sesuai dengan konstitusi, Italia terbuka dan berprinsip melindungi martabat setiap manusia.
Belakangan ini, situasi di Gaza Palestina semakin mengenaskan. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza telah mencapai titik kritis. Jumlah korban tewas akibat serangan Israel terus meningkat, dan kini melampaui angka 58.000 orang.
“Apa yang terjadi di Gaza sangat tidak dapat diterima dan sungguh memalukan. Jika warga Palestina ingin bertahan, saya paham. Tapi jika ingin pindah ke Italia, kami siap membantu pendidikan mereka,” kata Prof. Pietro Cavagna, PhD, Kepala Lembaga Pendidikan untuk orang dewasa Propinsi CPIA (Centro Provinciale per l’Istruzione degli Adulti) Milano 5.

Lembaga pendidikan ini bersifat otonom, menawarkan program pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa dan remaja yang ingin menyelesaikan studi atau memperoleh keterampilan baru.
Banyak imigran dan pengungsi berbagai negara di dunia mendapat bantuan dari lembaga ini, sehingga bisa hidup penuh martabat dan mandiri di Italia.
Lembaga ini harus selalu siaga saat perang terjadi. Pada 2022, saat terjadi perang di Ukraina, UNHCR menyebutkan, ada 175.000 warga Ukraina yang memilih Italia sebagai negara perlindungan mereka.
Artinya, Italia harus menyiapkan fasilitas dasar, yakni sandang, pangan dan papan. Selain itu juga fasilitas pendidikan bagi mereka.
Pietro mengatakan, lembaganya langsung mengontrak seorang guru berkebangsaan Ukraina yang fasih berbahasa Italia, Inggris, Ukraina dan Rusia.
Guru itu ditugaskan untuk membantu menangani siswa pengungsi dari Ukraina dan menyiapkan sebuah aula, yang dinamakan Aula Damai, untuk solidaritas pada murid asal Ukraina.
Tak semua korban perang

Pietro menambahkan, pengungsi ke Italia tak semuanya korban perang. Ada imigran yang mengungsi akibat situasi politik negaranya yang labil, tekanan ekonomi, bencana alam dan tingkat kriminal yang tinggi.
Data menyebutkan, imigran yang mendapat pendidikan dari lembaganya kebanyakan berasal dari negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, seperti Mesir, Bangladesh dan Pakistan.
Setelah itu, dari negara yang mayoritas beragama Katolik, seperti Peru dan negara-negara Amerika latin, kemudian Kristen Ortodox dari Eropa Timur, Koptik dari Mesir, Hindu, Buddha dari Asia Tenggara dan Timur jauh, bahkan Sikh dari Asia selatan.
Seorang staf sekolah yang murah senyum dari Sri Lanka menyuguhi kami teh dan makanan khas negaranya, berupa kue berbahan dasar tepung beras, yang rasanya seperti jalabria (makanan Sunda) dan roti isi ikan, mirip makanan dari Manado.
Untuk memenuhi kebutuhan para siswa yang memilih ragam kepercayaan, salah satu selasar gedung dialasi dua karpet Timur Tengah, dan toilet yang berdekatan untuk memudahkan mereka yang hendak membasuh diri.
Ia tidak menyebut ruangan ini sebagai tempat ibadah. “Ini adalah tempat dimana yang memerlukan bisa mendapatkan keheningan dalam damai,” ujarnya.
Berawal dari program persamaan

CPIA 5 Milano berdiri tahun 2014 sebagai lembaga pendidikan untuk program persamaan bagi warga Italia yang tak sempat kuliah.
Namun program ini ternyata salah sasaran, karena di Italia tak perlu ijazah sarjana untuk mendapatkan pekerjaan.