Lindungi Martabat Korban Perang, CPIA Milano 5 Upayakan Pendidikan Setara

Dalam perjalannya, lembaga ini menjadi solusi bagi para imigran yang kesulitan mendapatkan pekerjaan atau berbaur dengan warga Italia karena masalah bahasa.

Lembaga ini akhirnya menjadi pusat pelajaran bahasa dan pusat pendidikan persamaan tingkat SMP.

“Asalnya murid kami 3.000 orang. Sekarang 9.000-an dengan 19 lembaga di wilayah Lombardia, tapi terbanyak di Milan,” ujarnya.

Selain melayani imigran, CPIA juga melayani pendidikan orang dewasa di dalam penjara dan di lingkungan penjara anak (usia 14-20 tahun).

Pada 19 lembaga ini, jumlah siswa laki-laki dan perempuan secara umum imbang.
“Hanya saja yang perempuan, kebanyakan ibu-ibu dan remaja putri mengambil kelas pagi, sedangkan pria karena bekerja atau mencari nafkah biasanya masuk kelas petang atau malam,” ujarnya.

Dia mengatakan, tingkat kelulusan lembaganya hanya 60 persen. “Mereka punya banyak masalah, dari mulai pindah kota, punya bayi, pindah kerja dan berbagai isu lain yang sangat sensitif,” ujarnya.

Siswa yang lulus bisa melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk program bahasa, misalnya ada level A1,A2, B1,B2 dan C1.

Sementara yang sekolah persamaan SMP bisa melanjutkan ke jenjang persamaan SMA dan profesi, beberapa lembaga siap menampung antara lain ENAIP, GALDUS, CAPAC,
AFGP, IMMAGINAZIONE LAVORO, ASLAM dan Fondazione Clerici.

Banyak permakluman

Prof. Pietro Cavagna, PhD dan penulis. (Foto: Dok Rieska Wulandari)

Seorang staf mengetuk pintu dan meminta arahan karena ada calon siswa yang baru pindah dari CPIA Genova. Kepala meminta izin keluar ruangan, namun tak lama kemudian masuk kembali.

Ia meminta maaf seraya menjelaskan, saat menangani anak imigran, apalagi dengan trauma korban perang dan kekerasan lainnya, membuatnya harus banyak memberikan rasa maklum.

“Kalau cuma pindah lokasi sih banyak, saya mengalami situasi dimana siswa berubah nama, berubah kewarganegaraan, berubah agama dan keyakinan, bahkan berubah jenis kelamin, itu hal yang normal, saya temui dalam pekerjaan ini,” ujarnya.

Imigran kerap menemukan identitasnya di Italia, tidak hanya soal administrasi, tapi juga personal, mental, spiritual.

“Lembaga ini hadir untuk memberikan perlindungan dan martabat pada semua manusia, supaya mereka hidup mandiri,” ujarnya memberikan fokus dan perspektif.

Selain ruang kelas, ruang komputer, ruang seni, tester, aula olahraga dan pusat rekreasi, siswa boleh mengolah lahan pekarangan sekolah dengan tanaman yang dibawa masing – masing siswa agar mereka ingat kampung halamannya.

Ada Green House Dan nursery yang tertata sangat baik, dimotori oleh staf asal Sri Lanka yang menyuguhi teh dan kue tadi.

Kami berkenalan dengan Renuka. Kepala kemudian membawa saya melihat kebun sekolah yang cukup semarak.

“Kami punya sudut Cina dimana siswa Cina membawa tanaman umbi dan rimpang mereka, ada labu, ubi jalar, kacang polong,” ujarnya.

Ia terpukau melihat bagaimana siswa asal Cina, terutama wanita, begitu terampil dalam bercocok tanam.

Saya juga senang karena berhasil menanam alpukat dan pohon kelor!” ujarnya bangga.***

Foto headline: Siswa CPIA Milano 5.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *