Dukungan datang dari warga lokal, turis, pelaku usaha, hingga partai politik. Bagi pemilik kafe dan restoran, ini akhir pekan yang penuh berkah, reservasi meja dilakukan jauh hari sebelumnya. “Saking penuhnya, banyak yang hanya bisa berdiri di trotoar sambil menikmati minuman,” kata Nickytatty.
Kota yang Berubah Wajah
Di Dam, monumen nasional Amsterdam, panggung musik berdiri megah, hanya terbuka untuk penonton terdaftar. Namun kemeriahan tersebar di berbagai titik kota, masing-masing dengan panggung komunitas yang memutar musik berbeda. Ketika jalur trem ditutup, orang-orang berjalan kaki menuju stasiun, namun tak seorang pun mengeluh, karena setiap sudut menyajikan pemandangan menarik.
Hujan singkat sore itu tidak menyurutkan suasana. Di udara yang sejuk, 21 derajat Celsius, kerumunan bertahan hingga malam. Pada musim panas, matahari belum benar-benar tenggelam di jam delapan, memberi bonus waktu untuk menikmati suasana.
Jejak Sejarah
Digelar sejak 1996, Pride Amsterdam berbeda dengan banyak Pride lain di dunia karena sejak awal dirancang sebagai festival kebebasan, bukan demonstrasi. Sejak 2019, ia masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Belanda.
Bagi diaspora Indonesia di Eropa, momen ini tak hanya soal parade dan musik. Ia menjadi ruang untuk melihat bagaimana masyarakat Eropa merayakan keberagaman secara terbuka, memberi inspirasi tentang cara membangun penerimaan di mana pun kita berada. Tidak sedikit warga Indonesia yang hadir, baik untuk mendukung, sekadar berfoto, atau merasakan denyut kehidupan kota yang penuh warna.
Dan ketika perahu-perahu terakhir menghilang di ujung Westerdok, hanya riak air yang tersisa, tanda bahwa pesta pelangi telah usai, meninggalkan kenangan, pesan kesetaraan, dan rasa kebersamaan yang merentang lintas benua.