Oleh: Claudia Magany
(Bagian kedua dari dua tulisan)
Claudia Magany, diaspora Indonesia di Italia, mengisahkan pengalamannya sebagai pemandu wisata bagi ibu-ibu pejabat Indonesia, saat berjalan-jalan ke Venesia, Italia. Mantan wartawan ini heran luar biasa menyaksikan bagaimana para istri pejabat itu sama sekali tak tertarik dengan objek-objek wisata yang ditawarkannya. Tujuan mereka satu: berbelanja.
SUATU hari, ada seorang teman yang mendaftarkan saya ke kursus Primo Soccorso Croce Verde di Mestre (semacam pelatihan First Aid). Kalau di Indonesia ada Palang Merah (PMI), di Italia ada Croce Rossa, Croce Verde dan Croce Bianca.
Kursus yang saya ikuti itu sama sekali tidak bayar alias gratis. Setiap Selasa dan Kamis malam, pukul 20.00 sampai 23.00, selama 3 bulan berturut-turut, saya dilatih untuk melakukan first aid teori dan praktik.
Selesai kursus, saya mengikuti ujian teori untuk menjadi volunteer (relawan). Kami diberi seragam t-shirts dan setelan jaket oranye untuk musim panas dan musim dingin. Setiap relawan dibekali kartu anggota dengan kolom-kolom yang wajib diisi setiap kali bertugas.
Ada tiga pembagian shift, yakni pagi, siang dan malam. Masing-masing bertugas selama 6,5 jam. Idealnya, kalau setiap hari mampu menyisihkan waktu 6,5 jam, maka dalam 2 tahun bisa mengumpulkan 1500 jam. Artinya, kita memenuhi syarat untuk meraih sertifikat, kalau berhasil lolos ujian keseluruhan (teori dan praktik).
Bagi mahasiswa kedokteran atau keperawatan, sertifikat ini setara dengan satu mata kuliah yang nilainya 3 SKS. Tak heran kalau peserta kursus di Mestre yang berjumlah ratusan orang itu, sebagian adalah mahasiswa bidang kesehatan.
Saya sudah sampai di tahap volunteer. Sudah punya seragam, juga sudah bertugas antar jemput pasien dari rumah ke rumah sakit dan sebaliknya. Ternyata pekerjaan ini tidak semudah yang saya bayangkan. Saya bertugas mengantar jemput pasien hidup, menghadapi korban kecelakaan di jalan atau pasien sekarat, dan lain-lain.
Saya merasa tak sanggup melanjutkan kerja bakti sebagai relawan. Akhirnya, lupakan sertifikat. Lebih baik saya kembalikan seragam oranye itu, sebab tiap kali melihat warna ini, saya rasanya jadi stres.
Tahun itu, saya bekerja sambil selesaikan program wajib belajar bagi warga asing. Setara dengan SMP di Italia atau SD di Indonesia. Padahal dari Tanah Air saya berbekal ijazah sarjana yang sudah dilegalisir resmi oleh kedubes Italia di Jakarta. Ya, hanya Italia satu-satunya negara yang tidak mengakui ijazah dari negara mana pun di luar negeri mereka.
Setamat program wajib belajar, guru-guru menganjurkan saya untuk ikut ujian guida turistica (pemandu wisata) di Venezia. Sebagai persiapan, saya diizinkan mengikuti kelas Toponomastica sebagai pendengar pasif.
Bukan hanya itu. Saya juga diajak bergabung dengan tim redaksi majalah tahunan Venezia, yang diterbitkan sekolah tersebut. Diharapkan, dari majalah ini saya bisa belajar banyak tentang sejarah Veneto, khususnya Venezia. Maklum, kala itu belum ada Wikipedia dan Internet yang canggih seperti sekarang.
Masih melekat dalam ingatan, saya membayar 198 euro untuk mendapatkan kit formulir menjadi Guida Turistica Venezia. Ada berlembar-lembar formulir yang harus diisi, mirip kit Permesso di Soggiorno.
Setelah mengisi lengkap, amplop dikirim kembali ke panitia ujian di Venezia lewat pos tercatat (raccomandata). Harga perangkonya 9,90 euro. Padahal saya tinggal di Mestre. Teorinya bisa antar langsung ke meja panitia di Venezia.
Sudah lebih 200 euro keluar dari dompet untuk ikut ujian Guida Turistica. Setelah lulus, harus bayar kartu anggota. Waktu itu harganya 50 euro per tahun. Terbayang kalau tiap tahun harus perbaharui kartu seharga ini. Musti rajin promosi cari tamu yang butuh pemandu biar balik modal.
Oh ya, ujian ini juga hanya berlaku untuk wilayah Venezia saja. Kalau lulus, lisensinya tidak bisa dipakai memandu di kota-kota lain di Italia, termasuk Treviso atau Padova, walau masih satu daerah.
Tiba hari H ujian. Tempat ujiannya sama persis dengan aula di mana saya pernah kursus Primo Soccorso pada musim gugur tahun sebelumnya. Waktu mengikuti kursus, peserta bisa duduk berdekatan untuk saling menghangatkan. Sebab aula itu besar, tanpa pemanas.
Pagi di bulan Januari itu, kami harus duduk berjarak satu sama lain. Angin berembus dari pintu-pintu yang dibiarkan terbuka. Angin dingin terasa menembus jaket dan menusuk tulang. Tangan mulai kaku, membeku. Wah, bagaimana harus menulis kalau badan menggigil? Kesal juga, sebab bayar mahal hanya untuk disiksa hawa dingin di dalam gedung tersebut.
Lebih 3 jam kami terkurung di dalam gedung yang berkapasitas ratusan orang itu. Masih banyak peserta yang datang terlambat. Ujian belum dimulai kalau peserta belum lengkap. Panitia memberitahu kalau jumlah peserta ujian yang terdaftar ada 400 orang.
Pikiran matematika saya langsung menjumlah: 198×400=79.200 euro total pemasukan dana ke Comune di Venezia untuk event tersebut. Potong biaya sewa gedung, cetak formulir dan soal, bayar panitia dan lain-lain. Mereka masih untung. Ah, dasar mafia utara! (sindiran untuk Venezia)
Waktu yang diberikan hanya 1 jam untuk menjawab 100 pertanyaan pilihan ganda. Hati saya langsung terhibur sebab tidak perlu menulis jawaban yang panjang dengan tangan gemetar. Cukup mencontreng jawaban yang dipilih.
Dari 100 pertanyaan, ada beberapa pertanyaan (berulang kali) tentang jumlah sensus penduduk Venezia pada tahun tertentu, yang urutan angkanya diacak. Misalnya: Berapa jumlah populasi Venezia tahun 1821? (a). 1376 (b). 1736 (c). 1637 (d). 1367
Pertanyaan yang sama, beda tahun atau tertulis masa pemerintahan Doge kesekian, berapa jumlah penduduk Venezia, dan seterusnya. Pertanyaan lain yang di luar nalar saya: Ketika Anda masuk ke dalam gereja A, patung Bunda Maria menatap ke: (a). kiri (b). kanan (c). atas (d). bawah
Lalu, tentang posisi model dalam lukisan-lukisan yang dipamerkan di museum dan lain-lain, yang saya yakin, turis mana pun tak pernah akan mempertanyakan hal-hal detail tersebut. Ada banyak museum dan gereja tersebar di Venezia. Entah berapa lukisan di dalamnya. Tak mungkin saya mengamati satu persatu dan menghapal semuanya. Kecuali kalau saya tinggal di dalam kota Venezia, setiap hari bisa keluar masuk dengan bebas.