Beberapa petugas kebersihan sedang menyapu jalan dan mengumpulkan sampah ke dalam gerobak. Ibu-ibu yang melihat pemandangan ini senyum-senyum sambil berkomentar, “Sama aja ya dengan kampung kita!”
“Rumah-rumahnya kok terlihat seperti rumah-rumah gembel, temboknya dompel sana-sini nggak diperbaiki,” celetuk salah satu ibu, yang terheran-heran melihat perumahan tua saling berdempetan. “Gangnya juga kecil-kecil. Kalau di kita, gang tikus nih,” ibu lainnya menimpali. Rombongan pun tertawa.
Di pagi yang lengang itu, tawa kami mungkin mengganggu warga yang masih terlelap di balik tembok-tembok tua perumahan di Venezia yang terlihat rapuh dan lembap.
Tiba di piazza San Marco, suasananya juga masih sangat sepi. Teman saya, sebutlah namanya Diana, terlihat salah tingkah. Sekitar jam 06.30, semua aktivitas ekonomi dan budaya di jantung kota itu masih belum berdenyut. Untung ada bar yang sudah buka. Jadi kami arahkan rombongan untuk sarapan di sana sambil menunggu kota Venezia bangun dari peraduan.
Sembari sarapan, kami menjelaskan rencana kunjungan hari itu. Dengan penuh semangat, saya mempromosikan pulau-pulau di laguna yang patut dikunjungi. “Di Murano kita bisa lihat proses pembuatan produk gelas. Lalu menyeberang ke Burano lihat pengrajin merletto, sulam tangan khas pulau ini yang sangat terkenal dan hampir punah. Rumah-rumahnya juga unik dan beraneka warna. Untuk foto-foto bagus banget. Terus lanjut ke Torcello, ada museum arkeologi yang sangat menarik. Bagaimana ibu-ibu?”
Semua saling berpandangan, membisu. Hanya ibu dari Roma, yang menyatakan setuju dengan usulan saya, “Yuk. Kapan lagi bisa keliling laguna, mumpung sudah di Venezia.” Ibu lainnya akhirnya nyeletuk, “Kalau mau beli sepatu, tas… tokonya di mana, ya?”
Oh, oh..
Sambil menunggu jam buka pertokoan, selesai sarapan kami ajak rombongan ke Ponte della Paglia. Di atas jembatan ini, rombongan berfoto dengan latar Ponte dei Sospiri. Agak siangan sedikit, jembatan ini bakal penuh dengan turis yang antre ingin mengabadikan kenangan di Venezia.
Di tengah piazza San Marco, Diana hanya menunjuk dari jauh, “Di belakang kita ada Basilica San Marco, di sebelahnya Palazzo Ducale yang berseberangan dengan Biblioteca Nazionale. Di seberang sana, museum Correr. Sekarang kita ke Rialto, foto-foto di jembatan yang terkenal. Kalau ibu-ibu mau belanja, banyak butik terkenal di sana.”
Lagi-lagi terdengar gumam protes karena diajak ke jembatan lainnya. “Ibu-ibu, welcome to Venezia kota seribu jembatan!” seru saya untuk menetralkan suasana. Tiba di Rialto, rombongan buyar. Ada yang masuk ke toko A, toko B, dan seterusnya. Ibu dari Roma menemani saya menunggu di depan patung Goldoni yang menjadi titik pertemuan. Ibu ini tidak mau repot dengan aneka gembolan, sebab dia tahu kalau ke Venezia harus jalan kaki. Jadi bebaskan diri dari yang berat-berat.
Pelajaran pertama yang bisa disimpulkan dari pengalaman hari itu, ibu-ibu pejabat tidak tertarik dengan objek-objek wisata. Mereka lebih tertarik untuk belanja sepatu dan tas. Teman saya juga kurang persiapan untuk menjelaskan tentang gedung-gedung yang disebutkan. Padahal hampir setiap sudut di piazza San Marco punya sejarah yang sangat menarik.
Sebagai pengalaman pertama, saya dengan polos bercerita ke teman-teman Italia. Mereka terbelalak waktu saya bilang kalau saya dibayar, padahal cuma menemani jalan-jalan setengah hari. Ada yang kagum membayangkan turis Indonesia baik hati dan tentunya kaya raya. Beberapa dari mereka ada yang mengingatkan saya untuk berhati-hati kalau bawa tamu rombongan keliling Venezia.*** (bersambung)
Foto headline: Venesia (Rieska Wulandari)