“Anak bermain untuk merasa mampu, merasa menang, merasa aman,” katanya. “Ketika kita memahami kebutuhan itu, kita bisa mendampingi mereka dengan lebih lembut.”
Mom Mala juga membagikan teknik sederhana yang bisa dilakukan orang tua: membuat zona tanpa gawai, memberikan batasan waktu yang konsisten, serta menciptakan rutinitas harian yang stabil.
Aroma Kehangatan dari Islandia
Diskusi tersebut dipandu oleh Asti Tyas Nurhidayati, guru sekolah dasar yang kini tinggal di Islandia. Suaranya tenang dan ramah, menambah kehangatan dalam ruang virtual yang berjarak tiga benua.
Di sesi tanya jawab, peserta dari Belanda, Jerman, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya saling berbagi cerita. Ada yang bercerita tentang anak yang tantrum saat gawai disita, ada juga yang bingung mengatur waktu bermain ketika cuaca dingin membuat aktivitas luar rumah terbatas. Cerita-cerita itu memperlihatkan bahwa menjadi orang tua di perantauan sering kali berarti berjuang sendirian, dan ruang seperti ini memberi napas.
Memahami Dampak, Menemukan Keseimbangan
Dari paparan para narasumber, peserta diajak memahami lebih dalam dampak adiksi gim: gangguan emosi, penurunan fokus belajar, hingga berkurangnya interaksi sosial. Namun diskusi tidak berhenti pada kekhawatiran.
Para pembicara menawarkan strategi yang dapat segera dipraktikkan: membangun ritme harian yang sehat, menciptakan aktivitas non-digital yang menarik, hingga memperkuat hubungan emosional antara anak dan orang tua.
Bagi banyak diaspora yang hadir, diskusi ini terasa seperti menemukan pegangan baru untuk menghadapi keseharian yang serba digital.
Menutup Jarak, Menguatkan Komunitas
Menutup sesi, Asti Tyas menyampaikan pesan yang merangkum semangat kegiatan tersebut. “Adiksi gim pada anak bukan masalah yang harus dihadapi sendirian. Ketika orang tua, pendidik, dan profesional bekerja bersama, kita bisa membantu anak tumbuh lebih seimbang,” ujarnya.
Ruanita Indonesia berencana merangkum hasil diskusi ini dan membagikannya melalui situs resmi dan media sosial mereka, sehingga bisa diakses keluarga Indonesia di mana pun berada.
Dalam dunia yang semakin digital, diskusi lintas tiga benua ini menjadi pengingat sederhana: meski jarak memisahkan, tantangan yang dihadapi para orang tua ternyata serupa. Dan lewat ruang-ruang dialog seperti ini, diaspora Indonesia menemukan kembali rasa kebersamaan, dan kekuatan untuk mendampingi anak tumbuh di era yang terus berubah.

