Penulis: Yuke Mayaratih
Den Haag, WartaEropa.com – Tak ada yang menyangka bahwa sekumpulan ibu bekerja dengan beragam profesi—dokter, PNS, hingga manajer perusahaan—akan tampil gemilang di panggung Eropa, mengenakan kebaya, berselendang, dan menari tarian tradisional Indonesia.
Itulah yang dilakukan oleh Komunitas Perempuan Menari (KPM), komunitas yang lahir dari kecintaan pada budaya dan kerinduan akan tanah air.
Didirikan pada 2018 oleh enam perempuan, salah satunya Molly Prabawaty, KPM kini menjadi wadah bagi sekitar 150 perempuan Indonesia, dari usia 7 hingga 62 tahun, yang ingin menari tanpa harus menjadi profesional.
“Kami menari karena cinta budaya. Latihannya rutin, dan kami selalu bersemangat kalau bisa tampil,” ujar Molly, yang juga staf ahli di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Latihan mereka dilakukan setiap Sabtu di Jakarta, dengan iuran yang terjangkau. Tak ada ambisi komersial—yang ada hanyalah semangat menjaga warisan budaya agar tetap hidup.
Dari Jakarta ke Den Haag
Tahun lalu, KPM berhasil tampil di Gedung Kesenian Jakarta dengan 100 penari sekaligus, hingga mendapat penghargaan MURI. Tapi mimpi mereka lebih besar: menari di panggung internasional. Awalnya, mereka mendaftar untuk Tong Tong Festival 2023, namun acara dibatalkan.