Penulis: Edith Koesoemawiria *)

WartaEropa.com – Bukan hal aneh jika sebuah karya seni ditolak kehadirannya di panggung seni rupa internasional. Begitu pula dalam sejarah seni rupa Eropa. Misalnya, pada 1863, ‘Le dejeuner sur l’herbes’ karya Manet ditolak oleh Salon de Paris.

Juri yang terbiasa melihat tubuh telanjang perempuan dalam lukisan religius dan historis, menilai ketelanjangan dalam kehidupan sehari-hari merupakan pelanggaran norma.

Kini, berpakaian minim -di beberapa negara bertelanjang- di taman maupun tempat umum, merupakan hal yang tidak lumrah, tapi bukan keanehan. Terbuka atau tertutup, panjang dan pendeknya baju, hanya menjadi urusan mode yang dipilih oleh masing-masing pribadi.

Begitu pula di Indonesia, yang masih terbelit diskursus seksi versus sopan. Sensor dilakukan dengan penyamaran bagian tubuh tertentu atlet perempuan di televisi, yang dianggap dapat merangsang nafsu seksual.

Indonesia tampaknya memang punya pakem sendiri. Rok mini yang dikenakan anggota grup musik bisa menjadi alasan penolakan mereka untuk tampil di negeri Jamrud Khatulistiwa ini.

Padahal, budaya lawas Indonesia yang tertutup pun mengenal kebiasaan bertelanjang dada atau penggunaan penutup bawah yang relatif terbuka dalam pakaian adat suku bangsanya.

Pameran seni rupa Documenta 15 di Kassel, Jerman, tahun ini dikuratori kelompok seni asal Indonesia, Ruang Rupa.

Kontroversi pada pameran ini bukan soal ketelanjangan, meskipun terkait pelanggaran norma juga.

Yang disorot oleh khalayak Jerman di sini berupa ekspresi seni yang melecehkan, bersifat kebencian, dan menghasut kekerasan. Lebih jauh, merujuk sensitivitas sejarah negara itu, di Jerman ada larangan terhadap ekspresi yang bersifat anti-semitik. Mengapa?

Antara tahun 1933 dan 1945, pemerintah Nazi Jerman melancarkan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dinilai bukan keturunan bangsa Aria. Dan mayoritas korbannya kaum Yahudi Eropa.

Tindakan anti-semitisme itu merangkum semua ekspresi yang berprasangka, memicu prasangka dan/atau kebencian terhadap kaum Yahudi. Kala ini, ketika menyebut Yahudi, dengan sendirinya pemerintah dan aparat Israel termasuk di dalamnya.

Jerman merupakan negara yang belajar dengan baik dari kesalahannya. Pelanggaran berat HAM kala itu resmi diajarkan di sekolah. Ditekankan juga, barangsiapa yang tidak menentang politik kejam 12 tahun Jerman itu, bak kolaborator kejahatan juga.

Masa kelam Jerman ini menjadi “tanggungan rasa” bangsa Jerman hingga hari ini. Tentunya menjadi salah satu rujukan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik untuk dalam maupun luar negeri.

Dampaknya tentu tidak selalu positif dan tidak luput dari kritik warganya. Aksi akan menghasilkan reaksi, apapun itu.

Dalam 10 tahun terakhir, reaksi yang terhitung negatif itu termasuk kasus penyerangan dan pelecehan Malam Tahun Baru oleh pengungsi di Stasiun Kereta Koeln (2015) dan penyerangan terhadap orang berpenampilan asing di Halle (2019).

Masih banyak contoh kasus yang bisa disebut, dan tak semuanya menyakitkan hati seperti peristiwa-peristiwa tersebut.

Masyarakat Jerman pun kerap diingatkan bahwa peristiwa macam itu hanyalah bagian dari suatu proses integrasi. Yang dibutuhkan adalah toleransi dan pengertian yang lebih besar.

Dari berbagai laporan yang bisa diikuti di Indonesia, mengemuka sedikitnya dua pandangan di antara khalayak Jerman terkait Documenta 15 ini.

Dukungan terhadap proses lumbung dan komunitas yang diangkat Ruang Rupa dan kritik bahwa sejumlah karya berada di luar ranah seni.

Pandangan pertama mengharapkan adanya dialog dan perubahan persepsi. Sedangkan yang kedua memilah-milah batasan seni, gerakan sosial dan kemanusiaan.

Tapi sebenarnya, siapa yang bisa mengatakan bahwa seni tidak terkait erat dengan manusia dan kemanusiaan. Siapa pula yang bisa mengatakan bahwa kemanusiaan tidak bertalian dengan politik. Pada Documenta 15, justru di situlah terjadi gesekan yang menyesakkan dada.

Salah satu lukisan yang dipamerkan, yaitu karya Taring Padi berjudul “People’s Justice”, mendemonisasi pemerintah Israel serta aparatnya. Ini kartu merah. Hujan kritik melontar keras terhadap lukisan ini. Tak kurang dari Menteri Kebudayaan Claudia Roth juga menyatakan ketidakpuasannya.

Gambar yang dikritik itu dan merupakan ungkapan solidaritas Taring Padi terhadap rakyat Palestina, bisa jadi tampil karena adanya keyakinan terhadap kebebasan bersuara dan berpendapat di Jerman.

Boleh jadi, ada keinginan Taring Padi untuk membuka ruang agar anak muda Jerman bisa terbuka ketika mengkritik politik Israel terhadap Palestina. Entahlah.

Yang pasti, bukan solidaritas itu yang dikritik, Roth dan berbagai pemuka budaya lain menegaskan bahwa wajah babi tentara, monster Mossad dan seterusnya merupakan penggambaran yang tidak manusiawi, menghasut kebencian, dan anti-semit.

Taring Padi adalah kelompok seni yang ajeg. Anggotanya biasa bergaul dengan masyarakat (desa di Indonesia) yang dikunjunginya. Mereka lalu melakukan riset bersama-sama untuk menyuarakan keluhan atau aspirasi masyarakat itu menghadapi penguasa otoriter di sekelilingnya dalam bentuk seni.

Bisa jadi untuk Documenta 15, Taring Padi tidak menemukan mitra kerja yang cocok untuk berkolaborasi.

Meskipun di Israel maupun Jerman tidak sedikit senimannya yang bersimpati pada nasib warga Palestina. Umumnya, politisi Jerman pun selalu bersuara untuk Palestina dan bukannya tidak pernah mengkritik Israel.

Sebagian besar liputan Documenta 15, dari Eropa hingga Amerika, mandeg pada isu anti-semisitisme ini.

Isu yang secara informal sudah disuarakan di Jerman, beberapa bulan sebelum pembukaan pameran.

Memang selama itu tidak ada ribuan orang yang merasa perlu berdemonstrasi menunjukkan sikap mereka, tapi juga itu tidak berarti bahwa tak perlu peka pada situasinya.

Dalam hal ini, Taring Padi maupun jajaran kuratornya tampaknya melupakan pakem-pakem tuan rumahnya. Termasuk bahwa jika ada seniman Palestina yang diundang, maka seharusnya seniman Israel pun diberi ruang untuk bersuara.

Kini jajaran pemerintah Jerman memutuskan agar lukisan Taring Padi itu ditutupi kain. Ini hal yang baik, proses yang perlu didokumentasikan, dan menjadi pelajaran.

Lagipula, bukan seluruh Documenta 15 yang dihentikan. Bahkan, bukannya seluruh karya Taring Padi yang dilarang.

Disayangkan, hampanya dialog tidak membuka jalan menuju pertukaran pendapat atau penyiapan lebih banyak bentuk ekspresi yang baru. Segelintir reportase menunjukkan banyaknya karya menarik, baik dari seniman-seniman Indonesia maupun internasional lainnya yang tampil di Documenta 15.

Sementara itu, sejumlah organisasi menuntut pemecatan direktur Documenta dan pertanggungan jawab atas biaya Documenta 15 yang berasal dari pajak rakyat Jerman. Documenta pun telah minta maaf.

Semoga di mana pun para pengkritik juga ingat bahwa tanpa pergesekan pendapat itu, mungkin dunia tidak akan mengenal sederetan konsep seni seperti ekspresionisme, impresionisme, kubisme, art nouveau, strukturalisme, ataupun lumbungisme yang mengangkat pemikiran dan kreasi komunal.

*)Penulis, tinggal di Jakarta

Foto headline: lukisan raksasa pada pameran seni Documenta 15 di Jerman, yang dikuratori kelompok seniman Indonesia Ruang Rupa. (Deutsche Presse Agantur/Boris Roessler)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *