Warung Makan Indonesia di Belanda 25 Tahun Setia Layani Pelanggan

Djoen mengundang pelanggan pertama, yang sampai saat ini masih menjadi pelanggan setia. “Namanya Rick dan Alvon, mereka kakak beradik. Dulu mereka pelajar di kota Deventer. Saat itu mereka masih berumur 18 tahunan, dan saat ini sudah bekerja di Amsterdam jadi pelatih sepak bola.  Sampai hari ini mereka masih suka datang di akhir pekan. Menu yang mereka pesan juga tak berubah, yaitu nasi rames,” kata alumnus sekolah salon dan sekolah ekonomi di Erasmus Rotterdam itu dengan nada bangga.

Saat waktu menunjukkan pukul 8 malam, dan hujan masih rintik-rintik, dan hari sudah mulai gelap, satu persatu tamu berpamitan. Mereka pulang ke rumah dengan membawa buah tangan cokelat yang dibagikan kepada para hadirin.

Djoen sendiri mengaku terharu dan hampir tak percaya jika usaha yang dijalani selama ini mampu bertahan sampai 25 tahun. “Ini semua karena anugerah Tuhan. Hanya Dia yang memberikan kemampuan dan kekuatan kepada saya selama ini. Ada banyak mujizat juga yang saya alami. Misalnya di saat pandemi, saya melihat ada banyak sekali rumah makan yang tutup. Banyak pengusaha yang gulung tikar. Salah satunya adalah restoran Indonesia yang baru saja buka, di Deventer juga ada yang tutup. Tapi Java House tetap buka dan bahkan ‘banjir’ pembeli. Meskipun banyak yang memesan lewat telepon (take home) tapi Java House bahkan tak pernah tutup, “ tutur ibu dari tiga anak dan nenek dari empat cucu itu dengan mata berkaca-kaca.

Djoen dan kakaknya [kanan]. (Foto: Dok. Keluarga Djoen)
Java House 25 tahun lalu menempati bangunan sebuah rumah makan yang akan ditutup pemilik sebelumnya. Lalu kakak perempuan dari Djoen yang memiliki toko (sebutan untuk warung makan di Belanda) di kota Den Haag menawarkan bangunan itu kepada Djoen. “Kalo kamu mau, take over aja toko itu. Nanti saya bantu secara finansial dan kamu bisa cicil,” kata sang kakak saat itu, memberi semangat.

Djoen mengaku awalnya sempat ragu. Ia khawatir tidak bisa mengelola usaha kuliner dengan baik. Misalnya, bagaimana kalau rugi, sepi pembeli, dan sebagainya. Maklum, saat itu ia belum berpengalaman usaha sendiri, melainkan menjadi asisten yang membantu usaha kakaknya.

Djoen Bersama cucu (Foto: Yuke Mayaratih)

Djoen, yang hobi memasak, akhirnya memberanikan diri untuk serius menggeluti usaha kuliner. Ia dibantu tiga karyawan mulai menjual makanan menu Indonesia kepada penduduk Deventer dan sekitarnya.

Awalnya ia menjual makanan yang diambil dari Den Haag (warung makan milik kakaknya). Seiring berjalannya waktu, ia mencoba memasak sendiri menu makanan dan menjualnya di Java House.

“Saat saya take over tempat ini, tak ada dapurnya. Jadi hanya etalase untuk makanan dan meja kursi untuk pengunjung. Jadi makanan kita ambil dari rumah kakak saya di Den Haag. Tapi sejak 10 tahun lalu, saya renovasi dibagian belakang menjadi dapur dan ada tempat menyimpan bahan makanan dengan suhu sedingin kulkas,” ujar Djoen.

Djoen bersama kakak dan adik ( Foto: Yuke Mayaratih)

Untuk membangun ini semua, Djoen mengajukan pinjaman ke bank dengan bunga rendah. “Saya merasa ada campur tangan Tuhan dalam usaha ini, karena saya bisa mendirikan Java House 25 tahun lalu,” tutur Djoen.

Djoen mengawali usahanya dengan menjadi karyawan di toko bernama Istimewa Baru. Di sana ia bekerja selama 3 bulan. Tanpa dia sangka, sang pemilik toko tak mau meneruskan usahanya dan akan menjualnya. Nah, sejak itu ia mulai membuka usaha dengan bendera Java House, pada 1 Oktober 1997.

Editor: Tian Arief

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *