Penulis: Krisna Diantha
Wartaeropa.com – “Larung abuku ke Laut Utara, agar suatu saat akan mengalir sampai Indonesia.” Itulah wasiat terakhir Wilhelmina Johanna Mans, atau yang lebih dikenal sebagai Hanneke. Dan Peter Gisi, putra sulungnya, bersama adik-adiknya, Lukas dan Karin, melaksanakan wasiat sang ibu kandung tersebut.
Bagi Hanneke, Indonesia adalah Tanah Air yang selalu dirindukannya. “Dalam sanubari mama, Indonesia tidak bisa dilupakannya,“ tutur Peter Gisi kepada Warta Eropa, di tepian Sungai Rhein, Basel, Swiss, belum lama ini.

Hanneke dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 19 September 1929. Saat itu belum ada Indonesia, melainkan masih bernama Ost Indies, India Timur, atau lebih populer sebagai Hindia Belanda, negara jajahan Belanda.
“Mama anak kedua dari juragan perkebunan tembakau dan tebu di Pasuruan,“ kenang Peter. Sebagai putri pengusaha perkebunan, kata Peter, Hanneke hidup mapan. “Mama bercerita bagaimana bercengkerama bersama keluarga di kebun, di samping vila, yang ditunggui dan dilayani puluhan babu,“ katanya.
Dari foto-foto yang tersisa, keluarga Mans tampak mentereng dengan setelan jas putih dan topi bundar khas tuan tanah zaman itu.
Namun nasib keluarga ini jungkir balik saat Jepang menguasai Asia Pasifik, termasuk Indonesia pada 1942. “Mereka jadi tawanan perang, dimasukkan kamp pengungsian,“ kata Peter. Dari juragan yang biasa memerintahkan banyak hal, berubah menjadi manusia yang nasibnya diatur tentara Jepang.
Di saat-saat sulit inilah, Hanneke banyak bercerita kepada Peter, Lukas, dan Karin. Jika Lukas dan Karin sebatas mendengarkannya, Peter justru menulisnya. Mulanya sabagai catatan harian pribadinya, namun kemudian diterbitkan dalam novel Mutters Krieg, (Perang Ibunda).

Klik YouTube: Abunya Dilarung ke Laut Agar Sampai ke Indonesia
“Karena hidup mama hingga akhir hayatnya dihantui perang di zaman penjajahan, dan juga kehidupan rumah tangganya,“ imbuh Peter.
Hanneke menyaksikan bagaimana ibunya, nenek dari Peter, tiba tiba berubah menjadi wanita tak berdaya saat mengetahui ayahnya, kakek Peter, kepalanya dipenggal rakyat Indonesia, yang saat itu sedang euforia menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945. “Nenek hanya jadi wanita yang tidur di ranjang saja, tidak bicara, hanya tidur,“ kata Peter.
Tragedi lain keluarga ini, menyaksikan pembantaian di depan mata. “Ada anak pribumi yang ketahuan menyelundupkan makanan ke pengungsian. Dia tertangkap tangan, dan digantung hidup-hidup. Bahkan masih ditusuki bayonet oleh tentara Jepang, meskipun sudah meninggal,“ tutur Peter.
Hanneke juga pernah diperkosa tentara Gurkha. “Saya hati-hati menanyakan ke mama, dan dia mengiyakannya. Hanya satu orang yang memperkosanya, dua yang lain tidak sampai hati meneruskan perkosaannya,“ kata Peter.