Klik YouTube: Abunya Dilarung ke Laut Agar Sampai ke Indonesia

https://youtu.be/NJl-9qNKrqc

“Karena hidup mama hingga akhir hayatnya dihantui perang di zaman penjajahan, dan juga kehidupan rumah tangganya,“ imbuh Peter.

Hanneke menyaksikan bagaimana ibunya, nenek dari Peter, tiba tiba berubah menjadi wanita tak berdaya saat mengetahui ayahnya, kakek Peter, kepalanya dipenggal rakyat Indonesia, yang saat itu sedang euforia menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945. “Nenek hanya jadi wanita yang tidur di ranjang saja, tidak bicara, hanya tidur,“ kata Peter.

Tragedi lain keluarga ini, menyaksikan pembantaian di depan mata. “Ada anak pribumi yang ketahuan menyelundupkan makanan ke pengungsian. Dia tertangkap tangan, dan digantung hidup-hidup. Bahkan masih ditusuki bayonet oleh tentara Jepang, meskipun sudah meninggal,“ tutur Peter.

Hanneke juga pernah diperkosa tentara Gurkha. “Saya hati-hati menanyakan ke mama, dan dia mengiyakannya. Hanya satu orang yang memperkosanya, dua yang lain tidak sampai hati meneruskan perkosaannya,“ kata Peter.

Namun Peter tidak merinci lebih jauh, mengapa tentara Gurka, yang saat itu adalah tentara sekutu Inggris, memperkosa ibunya. Pada umumnya, korban perkosaan tawanan perang di zaman Jepang, mengalami perkosaan dari tentara Jepang.

Setelah 3 tahun dalam barak pengungsian, keluarga Mans akhirnya bisa pulang ke Belanda. Hanya saja, Hanneke merasa tidak nyaman ketika kapalnya menuju Amsterdam.

“Tempat saya bukan di Belanda,“ kata Peter, menirukan ibunya.  Dan sepanjang kehidupannya di Amsterdam, Hanneke merasa Belanda bukanlah Tanah Airnya.

Kota Basel Swiss, tempat Hanneke menjalani kehidupan keras, sebelum kembali ke Belanda. (Foto: Krisna Diantha)

 

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *