Hanneke kemudian menikah dengan laki-laki asal Basel, Swiss, dan menetap di tepian Sungai Rhein. “Hanya saja rumah tangga ini juga menjadi ‘neraka’ bagi mama,“ kata Peter. Betapa tidak, ayahnya sering main pukul. “Juga dia tidak mau mendengarkan kisah mama tentang Indonesia,“ ujarnya.

Lebih parah lagi, masyarakat Swiss juga tidak menerima kehadiran orang asing, tidak terkecuali orang kulit putih seperti Hanneke. “Mama menjadi auslander di Swiss. Orang asing, tidak diterima,“ tutur Peter.

Pasangan ini akhirnya bercerai. Hanneke kembali ke Belanda bersama Peter, Karin, dan Lukas. Di Belanda, Hanneke meninggal di usia tua akibat gagal jantung.

Mutters Krieg, kata Peter, hingga sekarang tidak dibaca dua saudaranya. “Sudah saya kirimi mereka, tapi katanya takut membacanya, banyak trauma,“ ujarnya.

Sedangkan keluarga dari pihak bapaknya, karena tidak banyak terlibat langsung, sudah membacanya. “Namun kaget ada masa lalu mama di Indonesia, dan perlakuan kasar papa ke mama,“ kata Peter.

Peter lebih banyak menulis tentang Hanneke, ibu kandungnya. Bapak tirinya juga tetap disinggung, namun lebih banyak tertulis lantaran sikap kasarnya sebagai kepala keluarga. “Saya pasti tidak menerbitkannya kalau papa masih ada,“ katanya.

Kota Pasuruan awal abad ke-20, kota kelahiran Hanneke. (Foto: pasuruankota.go.id)

 

Peter mengaku ingin sekali mengunjungi Pasuruan, Bandung, dan Jakarta. Pasuruan adalah kota tempat kelahiran ibu kandungnya. Sedangkan Bandung dan Jakarta adalah barak pengungsian yang menorehkan luka mendalam dalam kehidupan Hanneke. []

Keterangan:

Foto headline: Hanneke kecil (berdiri di tengah) bersama keluarga bahagianya. (Dok. Keluarga)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *