Penulis: Rieska Wulandari
Wartaeropa.com – No pain no gain. Setiap perjuangan perlu pengorbanan. Seperti bayi yang baru belajar berjalan, atau saat belajar mengendarai sepeda, belajar ski juga harus jatuh bangun dulu.270 air max 2018 hagebau gartenzäune hot pepper sexy joystick do nintendo switch 270 air max 2018 nh nadine blusen hagebau gartenzäune pulled pork tupperware ultra hudora skateboard skater rampe schwarz 5 teilig 11118 michael kors savannah schwarz hot pepper sexy dyson v10 total clean or absolute joystick do nintendo switch tricia rose hot pepper sexy
Selama ini, kendati sering jatuh bangun saat belajar ski, saya tak pernah cedera. Namun kemarin, lain cerita.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya main ski di Alpen/Champorcher- Val d’Aosta, Italia. Lagi enak enak meluncur, eh ada batu di bawah salju. Saya berusaha mengerem dengan bermanuver, tapi gagal. Malah saya jatuh dan lutut berbunyi “klok!”.
Cilaka! Aduh biyung sakitnya setengah mati. Tak bisa berdiri selama beberapa menit, saya menjerit dan menangis meraung-raung, saking sakitnya. Suami dengan sigap melepas papan ski dari sepatunya.

Setelah bisa mencerna rasa sakit, saya berusaha menggerakkan kaki dan berdiri. Perlahan. Untungnya bisa. Tapi nyeri di bagian lutut kanan tak juga mereda.
Posisi saya tidak menguntungkan. Insiden itu terjadi di lembah. Jadi saya mesti mendaki ke atas untuk mendapat pertolongan pertama di pos medis.
Saya harus berusaha mendaki. Saya pun mendaki mundur, mirip mobil jip sedang ber-off road di trek licin yang mendaki.
Jangan dikira heroik. Saya mendaki lima senti demi lima senti. Pelan seperti siput. Lutut kanan rasanya sakit saat ditekuk, tak bisa dipakai untuk bertumpu.
Setiap langkah saya mengaduh. Dengan bantuan tongkat ski, saya mendaki sambil nangis. Terengah-engah, berhenti berkali kali karena kaki rasanya tak sanggup lagi melangkah. Apalagi sepatu ski itu berat setengah mati.
Akhirnya tiba juga di pintu pos medis. Tapi bukannya lega, malah tangis saya makin menjadi. “Huwaaaaa! Tolong saya sudah tak sanggup lagiiiiii!”
Seorang petugas medis memapah saya. Saya didudukkan. Aduh! Duduk pun sakit karena posisi kaki menekuk. Petugas itu lalu mengambil penyangga kaki yang diisi udara yang dipompa.
Kaki saya dikompres salju yang dimasukkan ke dalam sarung tangan karet. Lumayan, nyeri kaki agak mereda, tapi tetap belum bisa saya gerakkan.

Mendengar histori kejadian, paramedis meminta kami segera ke rumah sakit, karena khawatir ada yang patah (tapi saya yakin tidak patah, sebab masih bisa berjalan), atau salah posisi. Sebab kaki saya tak bisa menekuk.
Kereta gantung pun dihentikan sementara. Saya dievakuasi ke dalam salah satu gerbong kereta. Kemudian turun ke arah zona parkir kendaraan.
Di mobil, suami menyetir, dan saya duduk di depan dengan kaki lurus. Sedangkan anak-anak duduk di belakang dengan wajah khawatir. Butuh 1 jam dari Champorcher untuk mencapai rumah sakit Aosta.
Rumah sakit regional itu satu satunya yang punya bagian ortopedi. Fasilitas kesehatan yang dikelilingi gunung maha dahsyat dan situs-situs ski ternama, mulai dari Cervinia Matterhorn Mountain-Monte Rossa, Courmayeur, Champoluc, Grassoney, Pila, La Thuile itu, cuma punya satu dokter ortopedi.
Saya tiba jam 5 sore di ruang gawat darurat. Petugas langsung mendata, lalu melepas sepatu ski yang saya pakai. Pantas menyiksa, karena berat sekali.