Akhirnya tiba giliran saya dipanggil. Dokter bertanya tentang kronologi kejadian. Saya pun menceritakan secara kronologis. Tanpa melihat cedera saya, dokter itu langsung mengirim saya ke bagian radiologi untuk di-rontgen.
Saya sendirian di rumah sakit karena anak-anak tak boleh masuk ke ruang UGD. Jadinya saya harus menunggu perawat yang akan membawa saya ke bagian radiologi.
Setengah jam menanti, akhirnya ada perawat yang mendorong kursi roda saya ke ruang radiologi. Sepanjang koridor, para perawat saling menyapa.
“Kamu saya bantu karena kamu sweet banget,” ujar satu perawat kepada perawat lainnya. Temannya menjawab, “Iya, kamu juga kubantu karena kamu juga sweet“.
Saya betul-betul merasakan sendiri, perawat-perawat di RS itu ramah-ramah. Mereka minta maaf pada kepara pasien yang harus menunggu lama. Apa mau dikata, dokter hanya satu.
“Kami sudah minta penambahan (dokter) sejak 2018, tapi belum ada respon pusat,” ujar mereka.
Proses rontgen berlangsung 12 menit saja. Petugas sangat tanggap, cekatan. Kaki saya difoto dalam dua posisi. Astaga, untuk pose foto saja sakitnya minta ampun. Pasti nanti sakit pas direparasi. Pasrah saja.
Setelah 1 jam menanti, akhirnya saya dapat giliran. Syukurlah, tak ada retak, hanya lebam parah sehingga lutut bengkak dan nyeri. Aduh lega, meski kaki masih nyeri.
Dokter berkata, saya harus diam tak banyak bergerak selama 7-8 hari. Posisi kaki lurus, kalau perlu pakai bantal. Juga minum penahan sakit. Kalau berjalan harus pakai tongkat/penopang.
Cuma yang saya bikin heran, kok rumah sakit yang dikelilingi resor ski hanya punya satu dokter ortopedi? Kok bisa pemerintah pusat tak menambah dokter yang sangat diperlukan oleh para turis yang main ski –yang beresiko tinggi untuk cedera?
Padahal resor ski di Alpen termasuk resor paling terkenal di dunia.
Seorang turis cedera yang berasal dari Afrika Selatan mengeluh, di rumah sakit itu tak ada wi-fi. Padahal dia butuh menelepon sanak saudaranya, karena kakinya patah akibat ditabrak sesama turis ski.