Oriana Fallaci, Jurnalis Wanita Tangguh yang Menggebrak Dunia

Dunia saat itu sedang mengalami transformasi sosial, Oriana Fallaci melakukan perjalanan untuk mengetahui perubahan di Barat.

Karena itu dia pergi ke New York dan mempelajari masyarakat Amerika, kaum hippies, dan budaya tandingan dengan cermat.

Hasilnya adalah buku berjudul The Seven Capitals of Hollywood dengan kata pengantar oleh Orson Welles, di mana ia mengungkap di balik layar kekuatan sinema.

Dari Amerika ia tertarik pada isu Vietnam. Fallaci kemudian menjadi koresponden perang wanita pertama.

Sepanjang kariernya bersama L’Europeo, dalam 7 tahun dia 12 kali membuat laporan kritis, baik tentang invasi AS dan tindakan Front Nasional untuk Pembebasan Vietcong. Cerita ini kemudian dikumpulkan dan menjadi sebuah novel berjudul “Tidak Ada dan Jadilah Itu”, tahun 1969.

Namun seruan Amerika terlalu kuat. Saat itu ada kejadian lain yang mendorong Fallaci meninggalkan medan perang Vietnam, dan mengikuti dampak pembunuhan Martin Luther King dan Robert Francis Kennedy di Amerika Serikat.

Ia juga pernah berkiprah di Mexico, tepatnya di Mexico City, menjelang Olimpiade 1968. Fallaci berpartisipasi dalam demonstrasi mahasiswa yang berdarah akibat bentrok dengan  polisi.

Di antara 250 korban tewas di Piazza delle Tre Culture, jurnalis tangguh ini mengalami luka parah. Petugas bahkan menyangkanya mati hingga dibawa ke kamar mayat rumah sakit.

Fallaci kemudian diselamatkan oleh seorang pendeta. Sejak tragedi itu, Fallaci selamanya “mendendam” pada Mexico.

Jika di komik Tintin tokohnya (wartawan Tintin) bersahabat dengan Profesor Calculus yang membawanya ke Bulan, maka Fallaci pun menjalin persahabatan dengan para ilmuwan.

Termasuk dengan para astronot misi Apollo, terutama dengan Neil Armstrong, yang membawa fotonya ke bulan. Kisah ini dia ceritakan dalam beberapa anekdot dalam sebuah buku berjudul “Hari itu di Bulan”.

Buku kiprah jurnalistik Oriana Fallaci. (Foto: Ist)

 

Kisah Cinta Tanpa Anak

Oriana Fallaci tak hanya populer karena karya jurnalistik dan buku-bukunya, tetapi juga kisah cintanya dengan Alexandros Panagulis, seorang politisi Yunani pemberani. Panagulis pernah dipenjara karena mencoba –secara sia-sia- membunuh diktator Georgios Papadopoulos pada 1968.

Wartawan itu bertemu sang tokoh saat meninggalkan penjara. Keduanya kemudian menjalani hubungan yang indah dalam derita.

Fallaci sempat mengandung bayi Panagulis, namun keguguran.  Pada 1 Mei 1976, Panagulis tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang misterius. Media massa menganggapnya sebagai pembunuhan.

Setelah kehilangan suami, Fallaci jeda dari dunia jurnalistik. Ia kemudian mengabdikan diri dengan menulis buku selama beberapa tahun.

Buku-buku yang diterbitkan antara lain berjudul  Inscialah (Insya Allah) terbit pada 1990, di mana dia menceritakan tentang perang saudara yang berkecamuk di Lebanon pada 1983. Dalam bukunya itu ia mengecam keras fundamentalisme Islam.

 

Masa Senja Oriana

Pada 1992, kesehatan Oriana Fallaci semakin memburuk akibat kanker payudara yang dideritanya. Sehingga memaksanya untuk menerima nasib menghadapi perang lain. Kali ini lebih pribadi.

Pada 11 September 2001 dia berada di New York, saat Menara Kembar WTC runtuh. Ia kembali menorehkan tinta jurnalistiknya yang sempat membeku.

Laporannya tentang serangan teroris pada WTC dikirimkannya pada media nasional Italia, Corriere della Sera. Artikelnya pada 29 September diberi judul “Kemarahan dan Kebanggaan”.

Artikel ini menuai pro dan kontra, yang kemudian menyeretnya ke meja hijau. Ia dituduh mencemarkan nama baik Islam.

Dari artikel tersebut ia juga mengembangkan sebuah buku dengan nama yang sama, yang pertama dari trilogi yang mencakup wawancara The Power of Reason. Buku itu diterbitkan antara tahun 2001 dan 2004.

Setelah operasi payudara dan perawatan, kegiatan menulisnya tertunda. Ia terkenal karena ungkapan “Buku saya adalah anak-anak saya, dan saya membayangkan mereka seperti itu”.

Dalam sakitnya ia merasa umurnya sudah dekat. Ia pun mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke Florence, kampung halamannya.

PM Italia Berlusconi menanggapi permintaanya dengan positif, dan menganggapnya sebagai harta nasional. Pemerintah Italia bahkan mengirim jet pribadi yang membawanya pulang ke Italia.

Wanita tangguh ini akhirnya meninggal pada 15 September 2006.

Oriana Fallaci dan tulisannya adalah bukti dari seorang wanita yang menatap mata kematian. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Kiprahnya adalah upayanya untuk memberi penghormatan kepada kehidupan, yang sangat dicintainya, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. []

Foto headline: Oriana Fallaci (Rai Play Sound)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *