Ada waktunya untuk segala sesuatu. Dan di leg kedua ini City mempertontonkan sepak bola yang nyaris sempurna (atau sudah sempurna?). Sang Raja, juara bertahan disingkirkan dengan skor agregat 5-1.
Ini menunjukkan Madrid punya batas, termasuk ketika di bawah tekanan pemain ke-12: puluhan ribu suporter City di Etihad Stadium.
Semifinal yang keren. Pep & City punya syarat yang cukup untuk jawara Champions musim ini. Lawannya Inter Milan, tim kejutan yang tidak terduga karena sanggup meringkus Benfica di perempat final. Duel mereka di Istanbul, Turki layak ditunggu.
Tapi ada satu hal sebagai pamungkas. Saya tak lagi mendapatkan batu-batu “misteri” yang dapat melukai City musim ini.
Pertama, ini final kedua bagi City. Di final pertama versus Chelsea, City karena sejak format Liga Champions, ada satu kutukan: Klub yang baru pertama main di final UCL, tak pernah juara. Itu berlaku pada Chelsea musim 2007/2008 serta City dua musim lalu.
Kedua, Pep sudah dua kali juara Liga Champions bersama Barcelona. Saya tidak yakin dia akan bernasib sesial Hector Cuper (pelatih asal Argentina) tatkala menukangi Valencia dan masuk final berturut di musim 1999/2000 serta 2000/2001 tapi rontok di tangan Madrid dan Bayern Munich.
Ketiga, kembali pada Julian Alvarez. Saya ingin bilang dia ini “jimat” yang layak ditimbang Pep untuk turun lebih cepat di babak final. Alvarez telah memberi trofi Piala Dunia kepada negaranya, Argentina. Dan hoki itu bisa berlanjut jika Pep mau memaksimalkannya.