Pertama, ini final kedua bagi City. Di final pertama versus Chelsea, City karena sejak format Liga Champions, ada satu kutukan: Klub yang baru pertama main di final UCL, tak pernah juara. Itu berlaku pada Chelsea musim 2007/2008 serta City dua musim lalu.
Kedua, Pep sudah dua kali juara Liga Champions bersama Barcelona. Saya tidak yakin dia akan bernasib sesial Hector Cuper (pelatih asal Argentina) tatkala menukangi Valencia dan masuk final berturut di musim 1999/2000 serta 2000/2001 tapi rontok di tangan Madrid dan Bayern Munich.
Ketiga, kembali pada Julian Alvarez. Saya ingin bilang dia ini “jimat” yang layak ditimbang Pep untuk turun lebih cepat di babak final. Alvarez telah memberi trofi Piala Dunia kepada negaranya, Argentina. Dan hoki itu bisa berlanjut jika Pep mau memaksimalkannya.
Tapi satu faktor nonteknis yang juga perlu dihitung Pep: Ilkay Gundogan. Kapten City ini kerap jadi senjata di Liga Inggris. Perannya saya kira “tidak tergantikan”.
Cuma satu minusnya: Gundogan pernah gagal juara Champions di musim 2012/2013 ketika berseragam Borusia Dortmund, takluk dari Bayern munich di final.
Dan Pep pasti tidak lupa. Di final Liga Champions 2020/2021, Gundogan juga bermain untuk City saat perang melawan Chelsea. Itu final kedua Gundogan dan seluruhnya gagal juara.
Pep tahu pasti evolusi pola 3-2-4-1 memang yahud. Tapi jangan lupa faktor nonteknis, termasuk “kutukan” di UCL. Dan kalau diperluas lagi, senior Gundogan, yaitu sesama pemain Jerman, Michael Balack menerima kutukan itu. Dia tak pernah juara Liga Champions saat berseragam Bayern Leverkusen (2001/2002) dan Chelsea (2007/2008).
Begitu pula saat membela timnas Jerman, negara itu gagal di final piala Dunia 2002 serta final Euro 2008.***
Catatan:
Foto headline: Aksi Julian Alvarez, sesaat sebelum mencetak gol. (YouTube BlueTV)