Ekspedisi Mont Blanc: Timku Adalah Tim Pertama yang Mencapai Puncak

Di satu sisi aku sangat mengapresiasi Marc yang mencoba melindungiku, namun di sisi lainnya aku juga ingin melakukan yang terbaik dan mencoba untuk menempa diri, sampai sejauh mana aku kuat untuk melakukan alpinisme ini.

Trek turun itu sangat berat untuk lutut. (Foto: Dok Teguh)

Hari ini secara total ketinggian yang kami daki adalah 1.300 meter dan turun 2.100 meter. Aku bangga dengan prestasi ini.

Boi pun memberikan pujian kepadaku : “You did very well Teguh! Keep looking for your dreams!“

Pesan ini dia kirimkan lewat WhatsApp. Mendapatkan pujian seperti ini dari mountain guide yang berpengalaman seperti Boi, rasanya begitu membanggakan sekaligus memberikan dorongan semangat begitu besar kepadaku.

Malam itu aku cek jempol kakiku yang sakit, ternyata jempol kananku lecet dan melepuh. Blister, ada air mengembang.

Aku coba tangani masalah ini dengan compeed. Plester untuk lecet itu adalah solusi paling jitu untuk mengobati lecet berair.

Keesokan harinya, Ju’mat 16 Juni 2023, kami berlatih rock climbing di daerah Les Gaillands.

Xavi dan Boi memberikan training. Rock climbing ini diperlukan untuk mendaki dan menuruni Grand Colouir di Mont Blanc.

Selesai rock climbing kami nongkrong santai dengan mencoba alat roll untuk memijat kaki bagian atas.

Di sela-sela acara memijat aku ngobrol dengan salah satu anggota tim bernama Bas. Bas adalah seorang podotherapist.

Podotherapist adalah ahli tentang segala hal mengenai kaki. Aku ingin tahu pendapat Bas mengenai cara aku berjalan karena aku merasa aku paling lambat di antara semuanya.

Bas berkata: “Menurut analisa aku, aku rasa kamu itu jauh lebih kuat daripada apa yang sudah kamu perlihatkan selama ini. You can do much more, you are stronger than you think. Di pendakian Gran Paradiso, kamu jalan terbungkuk-bungkuk karena kamu pikir kamu sudah hamper tidak bisa meneruskan perjalanan. Namun ketika kita beristirahat sebentar saja, ketika ditanya bagaimana kabarmu, kamu langsung dengan ceria menegakkan badanmu dan bilang, aku baik. Seketika itu pun wajahmu berubah dari kecapaian menjadi riang gembira. Itu menandakan bahwa kamu masih punya banyak tenaga. It’s all in your mind.“

Itu menandakan bahwa kamu masih punya banyak tenaga. It’s all in your mind. (Foto: Dok Teguh)

Mendengar komentar Bas, aku semakin yakin bahwa aku mampu melakukannya.

Sabtu pagi, 17 Juni 2023, semua anggota tim merasakan sesuatu yang mengganjal di perutnya. Sakit perut ini bukan diakibatkan makanan, melainkan tegang karena Sabtu pagi ini kami akan berangkat untuk memulai pendakian Mont Blanc.

Ketegangan ini sudah dirasakan sejak Jum’at sore. Di mobil dalam perjalanan ke tempat parkir Le Fayet, seorang anggota tim malah ada yang googling: “How to fake an injury?” (bagaimana cara berpura-pura cedera).

Agar dia tidak usah melakukan pendakian Mont Blanc dan juga tidak bisa disalahkan karena toh dia mengalami injury (cedera). Jadi bukan salahnya kalau dia tidak bisa ikut naik.

Dari tempat parkir, kami berjalan ke Stasiun Tramway du Mont Blanc. Kami naik Tramway du Mont Blanc sampai dengan stasiun Nid d’Aigle.

Dari stasiun ini kami hiking ke Refuge de Tête Rousse (3167 mdpl). Ketinggian yang kami tempuh 800 meter. Sesampainya di Refuge de Tête Rousse aku merasa senang.

Pasalnya rasa tegang pada pagi hari lenyap seketika. Yang ada hanyalah kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa.

Sesampainya di sana kami bisa memesan sup dan beli air mineral. Aku sempat bertanya kepada salah seorang pekerja Refuge de Tête Rousse, apakah mereka pernah melihat orang Indonesia sampai ke refuge ini.

Dia bilang: “Kamu adalah orang Indonesia pertama yang pernah aku lihat di Refuge Tête Rousse”. Wow!

Malam itu kami dibagi rope-group (kelompok dalam satu ikatan tali). Aku ditempatkan Bersama rope-group Marc dan Xavi. Alasannya adalah karena aku peserta group terlemah, maka aku ditempatkan bersama dua pendaki terkuat.

Xavi dan Marc adalah dua pendaki terkuat dari group ini. Sehingga mereka akan melindungiku. Xavi akan memanggil namaku sebanyak 1.000 kali untuk menyemangati aku agar terus berjalan.

Selain itu, ketika kita sampai di Refuge du Goûter, aku harus tinggalkan ranselku dan isinya akan dibawa ke puncak Mont Blanc oleh Xavi dan Marc.

“Kamu adalah orang Indonesia pertama yang pernah aku lihat di Refuge Tête Rousse.” (Foto: Dok Teguh)

Itu siasat dari Xavi agar kami semua bisa mencapai puncak Mont Blanc.

Malam itu kami mencoba tidur tepat waktu. Jam 10 malam kami sudah terbaring di tempat tidur susun. Satu kamar ada sekitar 20 orang.

Hari Minggu, 18 Juni sekitar pukul 02.30, aku dibangunkan oleh Marc. “Ayo kita bersiap-siap!” kata Marc.

Dia mengaku tidak bisa tidur semalaman dan malah kemaren sore dia merasa ada beberapa symptom altitude sickness (gejala sakit ketinggian).

Ini bukan pertanda baik. Jam 3 pagi kita makan. Jam 3.30 kami sudah berada di luar, lengkap dengan segala peralatan yang dibutuhkan.

Headlamp, helm, kapak es, boots dengan crampons, hardshell, ransel dan semua perlengkapan lainnya.

We are going to climb the Grand Colouir! Kami harus siap fisik dan mental. Pendakian Grand Colouir ini dilakukan di malam hari dimana hanya ada penerangan dari headlamp.

Grand Colouir adalah tembok batu dan es vertikal yang rata-rata sudutnya 45 derajat. Ada beberapa bagian yang curam dan ada beberapa bagian yang landai.

Aku memakai tiga lapis baju yang aku rasakan begitu panas. Aku seharusnya hanya memakai dua lapis saja. Tetapi Xavi tidak mau berhenti dan dia melaju dengan sangat cepat.

Dalam waktu 2 – 2,5 jam kita sudah melewati Grand Colouir dan mencapai Refuge du Goûter. Di Refuge du Goûter kami tidak punya banyak waktu. Hanya sekitar 10 menit makan bars dan minum.

Aku simpan ranselku dan aku berikan beberapa peralatan ke Xavi dan Marc. Dari Refuge du Goûter aku tidak membawa ransel.

Dari Refuge du Goûter aku tidak membawa ransel. (Foto: Dok Teguh)

Refuge du Goûter sampai puncak jaraknya masih 1.000 meter pendakian, melalui es dan gletser.

Xavi selalu mendorong aku agar aku tetap semangat berjalan. Walaupun napasku sudah sangat tidak karuan, aku
tetap berjalan. Aku mengalami masalah dengan napasku. Napasku sangat tinggi (seperti hyperventilation).

Denyut jantungku pun sangat cepat (setelah pendakian selesai, ternyata detak jantungku berada di sekitar 150 – 170 kali per menit).

Sangat tidak nyaman. Di ketinggian sekitar 4000 – 5000 meter jumlah oksigen yang ada di udara hanya 50 persen dari jumlah oksigen di ketinggian 0 meter.

Aku berkonsentrasi penuh dengan langkah kakiku. Step by step. Aku tidak mau menyerah. Aku teringat pesan David Goggins: “Jika kamu pikir kamu sudah tidak punya energi lagi, itu berarti kamu hanya menggunakan 40 persen dari energimu. Kamu masih memiliki sisa 60 persen energi. So you can still go on”.

Aku bilang kepada Xavi: “Xavi, jika ini tempo yang kita lakukan, I can do this all day long!”.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *