Penulis: Rieska Wulandari

Milan, Wartaeropa.com – Informasi kerap dipandang sebagai sebuah kata yang remeh dan sepele, dianggap murah dan bahkan gratis. Kalau ada bagus, kalau enggak ada ya enggak apa-apalah ya.

Mereka yang tak menganggap informasi adalah barang mahal adalah mereka yang jarang membuat keputusan berdasarkan analisa sendiri.

Mereka adalah orang-orang bertindak berdasarkan keputusan orang lain: keputusan bos, keputusan atasan, keputusan manajemen, keputusan klien, keputusan orang tua, keputusan suami, keputusan istri, keputusan keluarga besar, keputusan pemuka agama, keputusan guru, keputusan pak RT, keputusan hansip, dan sebagainya. Intinya, seumur hidup mereka TAK PERNAH MEMBUAT KEPUTUSAN SENDIRI.

Membuat keputusan itu berat dan sulit, apalagi kalau dididik untuk “menyenangkan dan membuat orang lain nyaman, tanpa memperhatikan apa yang sebetulnya menjadi esensi kebutuhan pribadinya”.

Kan, kita dididik untuk tidak egois. Jadi kalau mengambil keputusan harus membuat yang lain nyaman. Jadi tak ada relevansinya dengan informasi. Keputusan hanya relevan kalau yang lain senang.

Betul, kalau yang lain itu sama-sama punya jalan pikiran sehat, ya harus membuat nyaman yang lain. Tapi kalau yang lain itu toxic, sama saja dengan menggali kubur sendiri. Tapi itulah, mengambil keputusan berkelas di tengah lingkungan toxic, berpotensi membuat seseorang teralienasi.

Informasi itu penting sebagai landasan seseorang membuat keputusan. Tanpa informasi yang jelas, apa yang bisa kita putuskan? Dia hanya akan membuat keputusan-keputusan blunder. Alih-alih memberi solusi, malah bikin depresi.

Di zaman media sosial ini, orang sibuk mengikuti influencer (pemengaruh) sebagai patokan pengambilan keputusan. Padahal, sejak dulu menjadi influencer adalah hakikat dan fungsi media massa yang paling esensial.

Seorang jurnalis (Gambar ilustrasi: Harry Martawijaya)

Fungsi redaksi dan jurnalis juga di sini, tak lain dan tak bukan: menjadi influencer terakreditasi! Artinya, mampu memberikan informasi kelas premium kepada pembaca, yaitu informasi yang valid, berbobot, terverifikasi, supaya pembaca bisa mengambil keputusan yahud, kelas solid gold.

Tapi kenapa belakangan orang benci media massa? Coba pihak redaksi melihat lagi secara internal: mungkin karena beritanya tak cukup berkelas, tak cukup lengkap dan tak cukup valid untuk membuat pembaca mengambil keputusan tepat. Istilahnya, membuat pembaca jadi semacam meriam letoy, menembak tapi kurang amunisi, jadinya jatuh di wilayah sendiri. Dan media asing menjulukinya sebagai “tembakan bunuh diri paling epic“.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *