Di zaman media sosial ini, orang sibuk mengikuti influencer (pemengaruh) sebagai patokan pengambilan keputusan. Padahal, sejak dulu menjadi influencer adalah hakikat dan fungsi media massa yang paling esensial.

Seorang jurnalis (Gambar ilustrasi: Harry Martawijaya)

Fungsi redaksi dan jurnalis juga di sini, tak lain dan tak bukan: menjadi influencer terakreditasi! Artinya, mampu memberikan informasi kelas premium kepada pembaca, yaitu informasi yang valid, berbobot, terverifikasi, supaya pembaca bisa mengambil keputusan yahud, kelas solid gold.

Tapi kenapa belakangan orang benci media massa? Coba pihak redaksi melihat lagi secara internal: mungkin karena beritanya tak cukup berkelas, tak cukup lengkap dan tak cukup valid untuk membuat pembaca mengambil keputusan tepat. Istilahnya, membuat pembaca jadi semacam meriam letoy, menembak tapi kurang amunisi, jadinya jatuh di wilayah sendiri. Dan media asing menjulukinya sebagai “tembakan bunuh diri paling epic“.

Sama dengan orang yang terbiasa makan makanan tak bermutu dan menghasilkan penyakit, kebiasaan mengonsumsi informasi tak bermutu juga bikin lesu.

Ketiadaan informasi membuat manusia tidak punya gairah hidup, karena yang bersangkutan tidak punya bekal cukup untuk melihat “ke belakang, ke masa sekarang dan sekitarnya dan bekal ke depan”.

Masalahnya, informasi bermutu ya macam barang premium. Selain mahal, juga seperti minum obat: saat dibaca, pahit rasanya.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *