Pembacanya juga sama. Kalau biasa minum cendol, es campur, soda gembira dan tak biasa mengonsumsi minuman pahit, semacam kopi atau jamu. (Eh, random intermezzo: saya baru sadar bahwa di tukang jamu gendong Indonesia ada semacam minuman fermentasi yang rasa pahit dan nyerengnya persis dengan amaro, minuman di Italia. Artinya, pahit-minuman kebanggaan di Italia. Bedanya, di Italia amaro diminum pada malam hari, di Indonesia jamu biasa diminum pada pagi hari. Seperti jamu kuat. Indonesiani, siete forte! [kalian kuat!]). Pembaca yang tak biasa “minum minuman pahit” akan lari dari informasi yang bermutu, karena rasanya seperti “terbakar”.

Media massa di Tanah Air juga nyaris jadi barang toxic. Pasalnya, alih-alih membawa semangat pembaruan, malah mengikuti “selera pembaca” yang jelas-jelas ambyar karena tak tahu apa itu informasi bermutu.

Selama masa orde baru, pembaca dikekang. Di masa reformasi, informasi malah lepas tak terkendali. Bersamaan dengan hadirnya teknologi digital dan internet, kualitas berita yang sampai di tangan pembaca tak sempat terakurasi dengan baik. Semua jatuh dalam lintasan paling beracun: yang penting siapa yang tayangnya paling cepat, dia juaranya, der! Hasilnya? Banjir hoax nyaris tak terbendung. Semua limbung.

Pembaca tak lagi paham, mana berita yang kelasnya berlian, karena arenanya hanya pada konteks: yang penting cepat sampai di tangan, lalu diikuti hobi paling mutakhir, jemari sibuk main hakim ramai-ramai di kolom komentar. Asyik sekali, tak ada keputusan yang perlu dibuat, yang penting pandai menghujat.

Wahai pembaca budiman dan pembaca yang telah dewasa, mana yang lebih Anda suka? Informasi murah meriah, hasil duplikasi, miskin esensi dan lemah untuk dijadikan landasan keputusan, atau informasi kelas premium yang bisa bikin jenggot anda terbakar, tapi di situlah seninya: Anda bisa membuat keputusan-keputusan legendaris?

Media dan jurnalis sebetulnya ingin agar pembaca mendapatkan informasi kelas premium. Tapi pembaca lebih suka lari dari kenyataan. Apalagi hobinya tiap hari minum air kolek dan air limun. Sampai diabetes lah yang menjadi sahabat paling intim, bagai pencabut nyawa yang memeluk dalam halimun.
Tak semua yang manis itu sehat, hei!

Bagaimana, siap ganti perspektif? Mari kita pikirkan.

Milan, 30 Mei 2024.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *