Maksudnya, jika partai presiden terpilih tidak mampu memenangi pemilu legislatif secara mutlak, maka presiden dihadapkan pada tuntutan partai pemenang pemilu legislatif dalam memilih perdana menteri.
Artinya co-habitation, alias presiden harus menerima perdana menteri dari partai yang berbeda.
Namun para sejarawan, pakar politik dan ekonomi berpendapat, pemerintahan co-habitation tak pernah happy-end. Dan, dalam masa krisis politik seperti itu, situasi ekonomi sudah pasti terdampak.
Sejak pengumuman disolusi, bursa Paris terus mengalami penurunan. Dalam situasi gonjang-ganjing seperti ini, semua blok politik oposisi sebenarnya melihat celah kemungkinan segera mampu memegang tampuk pemerintahan.
Partai-partai politik beraliran kiri membentuk aliansi Nouveau Front Populaire (Front Baru Rakyat). Aliansi ini berharap bisa menghentikan langkah presiden Macron yang selama ini dipandang arogan dan brutal dalam mereformasi sistem pensiun di Prancis.
Lebih dari itu, Place publique (PP), Partie Socialiste (PS), La France Insoumie (LFI), Europe Ecologie-Les Verts (EELV), Parti Comuniste Français (PCF) bersatu dalam upaya membendung naiknya Ketua RN, Jordan Bardella, menduduki posisi perdana menteri.
Untuk memenangkan pemilu, tantangan bagi tiap blok politik adalah meyakinkan penganut golput yang dalam pemilu 9 Juni lalu mencapai 48 persen, untuk memberikan suaranya.
Dampak terhadap WNI di Prancis

Bagaimana dengan nasib warga Indonesia yang tinggal di Prancis?
Sebagai imigran yang tak memiliki hak pilih di negeri anggur ini, para WNI di Prancis bak penonton sinetron yang dengan jantung berdebar-debar menanti ending gejolak politik Prancis saat ini.
Beberapa WNI yang dihubungi Wartaeropa.com, menyatakan pendapat yang beragam dengan argumen yang berbeda-beda.
Mereka yang berharap blok tengah tetap memimpin, beralasan bahwa blok sentris tidak terlalu ketat dan tak terlalu longgar dalam isu imigran.
Selain itu, WNI sebagai imigran akan tetap memiliki hak yang sama dengan warga negara Prancis dalam hal tunjangan sosial (pendidikan, kesehatan, bantuan keluarga dan lain-lain), seperti berlaku selama ini. Intinya, mereka tidak ingin ada perubahan.
Sedangkan yang menginginkan Nouveau Front Populaire menang berpendapat bahwa blok kiri tentunya lebih peduli pada kesulitan-kesulitan rakyat kecil dan longgar dalam hal imigrasi.
Dengan demikian, jika ada WNI yang hidup di Prancis secara ilegal, tentunya akan lebih mudah memperoleh izin tinggal secara legal.
Namun, ada pula beberapa WNI, bahkan yang beragama Islam, yang menjagokan RN.
Partai ini diperkirakan bakal mampu membendung kejahatan yang ditengarai makin meningkat dan kedatangan imigran yang tak terkontrol.
Bagi beberapa WNI, anti-imigran dan Islamofobia yang disandang partai yang dulunya bernama Front National (FN) ini, tak membuat mereka khawatir. Alasannya, partai ini hanya mengincar imigran yang tak bisa berbaur dengan masyarakat Prancis.
Apa pun hasilnya, seluruh WNI berharap agar warga Prancis bijak dalam memilih, agar krisis ini segera berlalu dan tak ada dampak yang berarti dalam kehidupan mereka di Prancis.***
Foto headline: Gedung Parlemen Prancis. Di depannya terdapat Place de la Concorde, lapangan tempat pemancungan Raja Louis XVI pada 1793. (Foto: Sita Phulpin)