Penulis: Rieska Wulandari

Milan, Wartaeropa.com – Orang Sunda memahami bahwa bumi itu rahim, semesta itu perempuan, dan sang pengayom itu bernama Dewi Sari Pohaci (Dewi Sri).

Perempuan dalam kultur Sunda adalah sang energi, rahimnya mampu mencipta, kreativitas adalah nafasnya, kasih sayangnya menumbuhkan, keterampilannya menganyam, menenun, memasak, membuat keluarganya tumbuh menjadi kuat.

Kenapa yoni (simbol alat kelamin perempuan, lambang kesuburan) menjadi lambang yang sangat penting bagi masyarakat Sunda Purba?

Apakah karena manusia yang belum mengenal agama itu bersifat mesum?

Bukan, bukan itu. Orang Sunda adalah observer. Mereka mengamati fenomena alam, perempuan bisa melahirkan, sedangkan laki-laki tidak bisa.

Oleh karena itu, laki-laki Sunda memiliki pemahaman: berilah benih, perempuan akan memberimu anak.

Berilah kapas, perempuan akan memberimu kain dan pakaian, berilah hasil ladang, perempuan akan memberimu makanan enak di meja makan dan menyimpannya dalam lumbung-lumbung sehingga kamu tidak akan bertemu paceklik.

Apakah orang Sunda purba tidak punya agama? Anda salah besar, merekalah inisitor ide spiritual, bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari manusia, ada sesuatu yang tidak tampak tapi Maha Dahsyat.

Terbukti dari gerakan tanah, letusan gunung, gempa, tsunami, banjir air maupun banjir lahar. Kawah candradimuka menganga di mana-mana, momen mematikan namun kemudian abunya menghidupkan generasi baru.

Kiamat bagi orang Sunda purba adalah sementara, kamu yang tidak mati akan lebih kuat, menjadi saksi, sang testimony, bahwa dari mereka yang mati akan lahir lagi menjadi sesuatu yang baru, kecambah dan tunas-tunas lebih baik, lebih kuat, lebih hebat.

Dalam buku sejarah Sapiens yang ditulis Yuval Noah Harari, disebut evolusi manusia terjadi karena dalam suatu masa, ada satu perempuan yang “memutuskan” untuk “berevolusi” menjadi manusia.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *