Halusinasi Oma Irama, Membedah Fenomena ke Mekkah Naik Rakit Galon Aqua (Bagian 1)

Penulis: Rieska Wulandari

FENOMENA orang-orang yang beranggapan bisa ke Mekkah lewat gua atau berjalan kaki ini sebenarnya bibitnya sudah ada sejak 40 tahun lalu. Bahkan mungkin sejak 354 tahun lalu. Lho, kok?

Begini. Waktu saya kecil, kira-kita usia 4 tahun, saya tanpa sengaja mendengar obrolan dua anak tetangga yang usianya sekitar 7 dan 8 tahun. Saya lahir tahun 1979. Jadi ini terjadi kira-kira pada tahun 1983.

Anak yang satu berkata: “Gundala itu orang yang paling sakti”. Anak yang lain menjawab: “Orang paling sakti itu Oma Irama (orang Sunda lebih akrab memanggil Oma, nama asli Raja Dangdut Rhoma), karena dia bisa ke Mekkah lewat gua di Panjalu”. Mereka pun mulai berdebat: “Gundala.. Oma..Gundala.. Oma”… Begitu terus, tak ada yang mau mengalah.

Saya, yang sedang tidak ikut pembicaraan, malah duduk termenung dan berpikir keras. Ingat ya, usia saya waktu itu baru 4 tahun, dan pendapat kedua anak yang lebih besar itu, menurut saya, salah semua.

Analisa otak anak kecil ini adalah: Gundala bukan manusia. Dia bisa melakukan apa saja, terserah penciptanya (komikus lokal- waktu itu saya tidak tahu siapa namanya).

Tapi percayalah, saya sudah familiar dengan komik sejak usia 3 tahun. Sejak kecil, ayah saya kerap menyewa komik berkualitas, mulai dari wayang sampai Tintin di perpustakaan Hendra, Jalan Sabang Bandung.

Jadi saya hanya tertawa saat mendengar pertikaian kedua anak tadi.

“Ya ampun!” pikir saya, ”Anak 7 dan 8 tahun kok tidak paham kisah fiksi. Fix sih nih anak kurang baca, kurang gaul,” pikir saya waktu itu.

Kalimat “Oma Irama ke Mekkah lewat gua di Galuh Panjalu” yang dilontarkan anak lebih besar tadi benar-benar menganggu benak saya, yang masih usia 4 tahun.

“Ah yang bener aja? Mosok sih bisa begitu?” pikir saya tak percaya.

Terus terang, di tengah masyarakat Nusantara yang punya cara berpikir mistik, ibu saya yang juara satu dari SD sampai SMA, baik di sekolah maupun tingkat kecamatan, berkali-kali mengingatkan saya: “Jangan percaya hantu, jangan dengerin kisah mistik, jangan penakut, logika dipakai dan hantu itu nggak ada. Titik.”

Berbekal petuah-petuah ibunda itulah, saya mencoba membedah omongan kedua bocah ini menjadi sesuatu yang lebih logis.

Anak umur 4 tahun, kemudian mencoba melakukan analisa….

Menurut pikiran saya, yang waktu itu, sekolah TK saja belum, hanya dua kriteria manusia yang bisa melakukan perjalanan ke Mekkah lewat gua:

a. Dia supranatural, perpaduan sakti dan suci yang tak bisa ditandingi manusia normal lainnya. Tapi otak umur 4 tahun ini menganulir tingkat supernatural Oma. Ah..Oma kayaknya nggak supernatural-supernatural amat. Secara pribadi saya nggak kenal, tapi saya merasa dia tak cukup untuk masuk kategori ini.
Apalagi belakangan, kan banyak skandal terkait wanita yang dilakukannya, kendati lagunya terkenal karena bertema hal-hal kebaikan manusia.

Jadi insting otak 4 tahun saya cukup CEMERLANG.

Opsi supranatural gugur. Saya kemudian mencari argumen lain.

b. Kalau dia bisa ke Mekkah lewat jalan gua, berarti dia legenda, tokoh yang sudah mati, tapi fans base-nya tidak terima dia mati, sehingga… dia dibuat seolah -olah masih hidup dan bisa segalanya persis seperti mendiang Elvis Presley dan John Lennon.

Kedua tokoh musik legendaris yang kematiannya diratapi penggemarnya dan fans Oma, bikin semua teori tak logis soal ke Mekkah lewat Panjalu ini untuk mengobati dan meratapi kesedihan mereka, karena tak bisa menerima kenyataan bahwa Oma sudah mati.

Karena kesimpulan yang kedua ini tampaknya lebih manusiawi, maka dalam benak saya : fix, Oma Irama sudah mati. 😅🙈

Kesimpulannya-kesimpulan ini saya buat dengan kesadaran penuh, dengan otak anak umur 4 tahun, dengan prinsip: saya ingin taat pada logika yaitu tak mungkin orang bisa tiba di Mekkah hanya dengan memasuki sebuah gua.

Mengakhiri pergulatan logika di dalam otak sendiri, saya bangga bahwa saya bisa melawan argumen dua orang anak usia 7-8 tahun, yang dua duanya tak masuk akal ini.

“Ah, anak besar tapi bodoh,” ujar saya, sambil berlalu. “Tak sudi aku ngobrol sama mereka,” batinku.

Problemnya, kesimpulan Oma Irama sebagai legenda yang sudah mati ini terbawa dalam alam bawah sadar saya, karena rupanya berbagai “kebetulan” menguatkan teori.

Pertama, ibu kami tidak memperkenankan kami, anak-anaknya, untuk menyimak stasiun-stasiun radio dangdut. Alasannya, penyiarnya saru (mesum). Programnya klenik, lagu-lagunya vulgar.

Ibu saya benar 100 persen. Karena restriksi ini sangat keras, maka kami hidup dalam standar kedap hal-hal perdangdutan.

Tak pernah sekalipun kami menyimak radio dangdut. Ayah saya memilih KLCBS, stasiun radio musik jazz di kawasan Bandung utara yang nyaris nggak ada suara penyiarnya.

Atau Continental FM (sekarang K-Lite), juga di Bandung utara, yang dipandu kang Kujang Suryalaga.

Lagu-lagunya pop slow, kualitas album album nasional pemenang festival musik mancanegara, plus berita terkini dari koran nasional dan lokal.

Keluarga kami tidak kaya. Kami bermukim di sebuah rumah kontrakan langganan banjir di Jalan Lebak, Kiaracondong, Bandung.

Radio sangat esensial bagi kami, karena harga kaset saat itu tidaklah murah. Memilih stasiun radio yang tepat adalah “jalan ninja” kami.

Ibu memilih radio bernafas religius kristiani yang bermarkas di Jalan Kacapiring 12: Radio Maestro.

Dari radio, kebutuhan spiritual khotbah para rohaniawan, lagu rohani pilihan ibu, dipadukan stasiun radio pilihan bapak, maka kombinasi “musik bergizi” dari Tanah Air, juga mancanegara seperti Queen, Phil Collins, Comodore, Stevie wonder, Michael Jackson dan sebagainya, memuat saya merasa “content” dan tak merasa kekurangan apa pun.

Buku juga ada terus, yaitu komik-komik dari persewaan. Sehingga saya bisa “puas lahir batin”.

Pendeknya, dalam diri saya tak ada jejak jejak Rhoma Irama dalam kehidupan exposure musik kami. Maka dia pun mulai terhapus dari ingatan saya.

Kebetulan kami pindah rumah dua kali. Waktu itu ke kampung Babakan Sari, lalu rumah kami diterabas proyek UNDP karena saking kumuhnya. Ada dana yang digelontorkan untuk pasang gorong-gorong besar.

Kami pun digusur, dan dapat pengganti rumah petak di permukiman terpencil yang sekarang menjadi perumahan besar di Bandung timur bernama Antapani.

Di Antapani, saya sibuk saja bermain dengan kucing, sekolah, latihan Pramuka, atau latihan nyanyi di gereja sampai saya kuliah. Saya tak memikirkan soal Rhoma Irama.

Kalaupun ada klip Rhoma Irama di acara musik televisi yang muncul sekali sepekan, saya anggap itu klip lama yang direkam ulang, atau hits lama yang didaurulang, mengenang kematian sang legenda.

Misalnya, ada skandal terkait perkawinan kelima kalinya Rhoma Irama, saya juga tak ambil pusing. “Biar saja, wong sudah nggak ada kok diributkan,” begitu pikir saya.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *