Tak pernah sekalipun kami menyimak radio dangdut. Ayah saya memilih KLCBS, stasiun radio musik jazz di kawasan Bandung utara yang nyaris nggak ada suara penyiarnya.
Atau Continental FM (sekarang K-Lite), juga di Bandung utara, yang dipandu kang Kujang Suryalaga.
Lagu-lagunya pop slow, kualitas album album nasional pemenang festival musik mancanegara, plus berita terkini dari koran nasional dan lokal.
Keluarga kami tidak kaya. Kami bermukim di sebuah rumah kontrakan langganan banjir di Jalan Lebak, Kiaracondong, Bandung.
Radio sangat esensial bagi kami, karena harga kaset saat itu tidaklah murah. Memilih stasiun radio yang tepat adalah “jalan ninja” kami.
Ibu memilih radio bernafas religius kristiani yang bermarkas di Jalan Kacapiring 12: Radio Maestro.
Dari radio, kebutuhan spiritual khotbah para rohaniawan, lagu rohani pilihan ibu, dipadukan stasiun radio pilihan bapak, maka kombinasi “musik bergizi” dari Tanah Air, juga mancanegara seperti Queen, Phil Collins, Comodore, Stevie wonder, Michael Jackson dan sebagainya, memuat saya merasa “content” dan tak merasa kekurangan apa pun.
Buku juga ada terus, yaitu komik-komik dari persewaan. Sehingga saya bisa “puas lahir batin”.
Pendeknya, dalam diri saya tak ada jejak jejak Rhoma Irama dalam kehidupan exposure musik kami. Maka dia pun mulai terhapus dari ingatan saya.
Kebetulan kami pindah rumah dua kali. Waktu itu ke kampung Babakan Sari, lalu rumah kami diterabas proyek UNDP karena saking kumuhnya. Ada dana yang digelontorkan untuk pasang gorong-gorong besar.
Kami pun digusur, dan dapat pengganti rumah petak di permukiman terpencil yang sekarang menjadi perumahan besar di Bandung timur bernama Antapani.
Di Antapani, saya sibuk saja bermain dengan kucing, sekolah, latihan Pramuka, atau latihan nyanyi di gereja sampai saya kuliah. Saya tak memikirkan soal Rhoma Irama.
Kalaupun ada klip Rhoma Irama di acara musik televisi yang muncul sekali sepekan, saya anggap itu klip lama yang direkam ulang, atau hits lama yang didaurulang, mengenang kematian sang legenda.
Misalnya, ada skandal terkait perkawinan kelima kalinya Rhoma Irama, saya juga tak ambil pusing. “Biar saja, wong sudah nggak ada kok diributkan,” begitu pikir saya.
Saya ajeg dengan pikiran ini, meski Rhoma bikin lagu yang sangat kekinian, seperti Judi dan Mirasantika.
Masalahnya, ketika muncul stasiun televisi swasta di tahun 1990-an, untuk slot pukul 14 siang ditayangkan film-film lama, dari aktor yang sudah meninggal, seperti Charlie Chaplin, Jerry Lewis, Elvis Presley, Audrey Hepburn dan… ini dia gongnya, di antara film itu, kadang muncul film klasik Rhoma Irama macam Berkelana dan Satria Bergitar!
Jadi, kemunculan filmnya di slot film legendaris dimana ia disandingkan dengan tokoh-tokoh film yang sudah pada meninggal, ya saya mengonfirmasi secara pribadi bahwa Rhoma tak lain adalah legenda yang sudah tiada.
Di sekolah, saya nggak merasa perlu bertanya pada teman, apakah Rhoma sudah nggak ada, karena rasanya nggak relevan dalam kehidupan saya. Lagipula ibu tidak suka musik dangdut.
Kemudian saya mendaftar UMPTN, tapi mati gaya, bingung harus pilih apa. Saya akhirnya memilih Fikom Unpad, spesifik program Jurnalistik.
Oh ya, tak seorang pun mengira saya bisa lulus UMPTN. Saya sendiri saja ragu. Tapi saya lulus. Gilanya, tahun 1997, FIKOM naik daun dari peringkat 11 lalu bertengger di peringkat 3, dan aku berhasil lulus!
Di kampus, saya asyik saja dengan dunia kuliah. Saya magang dan lulus dengan pekerjaan sudah di tangan, tepatnya di harian sore Suara Pembaruan.
Diundang ke Panjalu
Nah, seolah semesta ingin membuka tabir ke-halu-an saya, saya diundang ke Panjalu, sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis.
Ah, ingatan Rhoma Irama muncul lagi. Saya berangkat ke Panjalu, dan di sana saya terpana melihat keindahan alamnya, sekaligus hal-hal mistis yang diyakini warganya.
Karena terikat jadwal rombongan yang fokus pada pertunjukan adu domba, maka kawasan Panjalu saya jelajahi secara terbatas. Hanya di pagi hari, sebelum pertunjukan adu domba dimulai.
Secara pribadi saya tak tega menonton dua domba jantan harus beradu antara hidup dan mati. Tapi saya dan Aries, seorang teman, meski tak tega, tetap bisa fokus dengan pekerjaan utama: meliput adu domba.
