Halusinasi Oma Irama, Membedah Fenomena ke Mekkah Naik Rakit Galon Aqua (Bagian 1)

Saya memotret domba yang sedang beradu di arena. Ternyata, teman teman fotografer pemakai kamera pro, begitu terpikat dengan hasil jepretan saya dengan kamera saku. Saya berhasil menjepret momen yang begitu pas, sesaat sebelum dua kepala domba beradu, dengan posisi kedua domba yang simetris.

Sebagai wartawan tulis, saya tak dibekali kamera profesional, atau disebut juga kamera SLR dari kantor. Karena belanja alat pakai daya pribadi, saya cuma sanggup beli kamera saku digital bekas bermerek Casio.

“Itu kamera apa kalkulator?” ledek teman-teman senior.

Saya kemudian bertemu seorang tokoh Panjalu. Ia menceritakan tokoh lokal Sanghyang Prabu Borosngora, yang diyakini sebagai raja Sunda pertama yang menganut Islam, dan bisa berangkat ke Mekkah hanya lewat laku pertapaan.

Ia juga disebut-sebut sudah bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Ali adalah sahabat Nabi Muhammad SAW, yang juga menjadi khalifah keempat Kekhalifahan Rasyidin.

Tapi saya kesulitan mencerna paparan pertemuan kedua tokoh ini di kepala saya. Saya secara otomatis sikronisasi timeline antara Ali RA (Radhiyallahu Anhu), yang hidup di tahun 600-an Masehi dengan Prabu Sanghyang Borosngora yang hidup tahun 1600-an Masehi, atau terpisah jarak 10 abad alias 1000 tahun!

Pada tahun 600 Masehi, masyarakat Sunda masih beragama Hindu atau Sunda Wiwitan. Dan di sana ada kerajaan Galuh yang dipimpin oleh raja-raja Galuh, mulai dari Prabu Wretikendayun, yang memiliki putra antara lain Sempak Waja dan Mandiminyak.

Mandi Minyak memiliki anak dari Rababu Pohaci bernama Sena dan Sena menikah dengan anak Maharani Sima di Kalingga, bernama Parwati anak mereka bernama Prabu Sanjaya.

Perpaduan antara Galuh dan Kalingga ini melahirkan kerajaan Medang yang dipimpin oleh Prabu Sanjaya dan muncullah dinasti Sanjaya. Kerajaan Medang adalah pemrakarsa Candi Borobudur.

Kisah ini tidak nyambung dengan kisah Prabu Borosngora, yang sepertinya baru hidup sekitar 1000 tahun setelah itu.

Paparan tokoh Panjalu soal sejarah Prabu Borosngora yang berkelindan dengan pemaparan soal pertemuan dengan Ali bin Abi Thalib, dilengkapi dengan artefak berupa cenderamata pedang tongkat dan pakaian kebesaran yang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit.

Para ahli sempat melakukan penelitian, dan menyatakan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang cenderamata itu bukan karya para empu di Nusantara.

Cukup membingungkan, karena tarikh yang berbeda ini sampai hampir 1000 tahun selisihnya, lalu saya mendapat kisah versi Cianjur, yang lebih masuk akal.

Diceritakan bahwa Sanghyang Borosngora atau dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung adalah putra kedua Adipati Singacala atau Panjalu yang bernama Prabu Cakradewa. Disebutkan, itu terjadi pada bulan Safar 1101 Hijriah atau 1671 Masehi.

Yang menarik dari catatan Cianjur adalah Pangeran Borosngora melakukan perjalanan ke Mekkah dengan lama perjalanan selama 6 tahun!

Jadi, berdasarkan versi Cianjur, bukan perjalanan melalui pertapaan yang hanya sekejap yang membawanya ke Mekkah, tapi perjalanan panjang selama 6 tahun.

Sepulang dari Tanah Suci, ayahnya sudah mangkat. Ia mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama, dan kemudian berdakwah di tanah Sunda.

Sampai sekarang masih misteri, bagaimana Raja Borosngora bisa bertemu dengan Ali RA, yang tidak sinkron secara tarikh waktu, 1000 tahun perbedaannya.

Tapi saat itu, jurnalis lain dari media massa di Garut, Tasik, Ciamis, Bandung, tampak sangat terpikat dengan kisah Prabu Borosngora ala Panjalu tersebut.

Esoknya, di situs-situs berita online, muncullah kisah Borosngora yang melakukan perjalanan ke Mekkah lewat pertapaan di Panjalu.

Saya heran, bagaimana jurnalis tidak bisa membedakan kisah sejarah dan kisah legenda rakyat?

Waktu itu, saya juga mampir ke makam, yang disebut-sebut makam Prabu Borosngora. Di sana ada kuncen, namun saya tidak mendapatkan penjelasan yang cukup ilmiah juga. Maka saya tinggalkan saja kuncen dan berpamitan dengan sopan dan halus.

Tanpa berniat menyinggung siapa pun, setidaknya argumen saya soal tidak mungkin manusia bisa ke Mekkah hanya dengan masuk ke gua pada usia 4 tahun, terkonfirmasi.

Masih berusaha memahami fenomena ini, saya mencoba menghubungi ahli sejarah Sunda dari Unpad, Prof. Dr. Nina Lubis, mengenai latar belakang Prabu Borosngora dari kajian ilmiah.

Sayangnya, lewat pesan pendek, beliau menyatakan sedang sibuk menghadiri acara-acara Ramadan, sehingga tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya seputar Prabu Borosngora.

Saya juga sedang menunggu jawaban dari Guru Besar Sejarah Unpad, Prof. Dr. Reiza Dienaputra, tentang biasnya sejarah Panjalu, Prabu Borosngora, dan tarikh waktu yang tak sinkron ini. (bersambung)

Keterangan foto headline: Juru kunci makam yang diyakini sebagai makam Prabu Borosngora di Panjalu, Ciamis (Foto: Rieska Wulandari)

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *