Argumen ini cukup masuk akal mengingat koran kami lebih banyak berbasis pembaca Kristen Protestan, sementara lagu Rhoma syair-syairnya lebih ke dakwah islami.
Boss saya kemudian maklum: ”Pasti ada (pembacanya). Dia legenda besar,” katanya.
Saya berusaha untuk mengumpulkan otak saya yang sepertinya berserak di lantai bagai puing-puing, mendapati salah paham soal Rhoma Irama.
Apa yang terjadi dengan kepala saya? Rupanya selama 20 tahun terakhir tak sinkron dengan realita.
Saya kemudian memulai riset di kantor, dan jelas sudah, Bang Rhoma masih ada dan tetap berkibar di dunia musik (waktu itu belum hijrah ke politik).

Saya berusaha untuk mengatur pertemuan dengan Bang Rhoma, hingga akhirnya disepakati mewawancarai dilakukan sebelum Pesta 17-an di Ancol, Jakarta.
Waktu bertemu Rhoma, saya rasanya canggung sekali. Jelas lah dalam hati saya merasa malu karena membangun kerangka berpikir yang sangat keliru.
Sepertinya pertemuan itu sudah diatur oleh Ilahi, supaya otak saya terbuka pada kenyataan hidup dan realitas di luar dogma pribadi yang saya bangun soal Rhoma Irama.
Wawancara berjalan lancar sebelum tampil di panggung Ancol, dan saya kagum pada energi dan vitalitasnya.