Penulis: Rieska Wulandari
Wartaeropa.com – Rasa inferior atau minder tak ada dalam kamus hidup Oriana Fallaci. Saat mewawancarai narasumber, jurnalis legendaris asal Firenze Italia itu tak segan mengajukan pertanyaan tajam dan tanpa ampun.
Itulah gaya telisik yang membedakannya dengan jurnalis-jurnalis lain. Laporannya punya nyawa. Ia tak sekadar membuat kisah.
Bagi khalayak pembaca setianya, tulisannya seolah hidup. Seolah pembaca turut hadir bersama para narasumber tersebut, turut mendengarkan di ruangan itu.
Sebuah situasi yang sangat absurd, sebab nyata-nyata Fallaci selalu menuliskan tanggal dan lokasi wawancara yang jelas jauh dari lokasi pembacanya.
Fallaci adalah jurnalis yang tak pernah puas. Benaknya selalu penuh kecamuk. Pribadinya terus mencari jawaban.
Dengan penuh keberanian dan tekad ia mengajukan pertanyaan langsung pada kepara pemegang kekuasaan di berbagai belahan bumi.
Selama karirnya, tak kurang dari 26 tokoh penting abad ke-20 pernah diwawancarainya, mulai Henry Kissinger, Golda Meir, Bhutto, Raja Hussain, dan tokoh lainnya. Kiprahnya berlanjut hingga abad ke-21.
Saat berbicara dengan para tokoh pilihan katanya ditujukan untuk menghormati narasumbernya. Tapi pada saat yang sama, ia menempatkan diri pada posisi setara.
Dialog itu demikian berbobot sehingga jurnalis dan narasumber seolah sedang bertukar pikiran dan kawan diskusi. Wawancaranya merenungkan kemungkinan-kemungkinan masa depan sejarah kemanusiaan yang selalu beriringan dengan kekuatan, yang berkaitan dengan nafsu berperang.
Tentu saja, pertanyaan yang keras itu tidak mudah diterima orang yang diwawancarainya. Bahkan tak jarang laporan-laporannya menuai kritik, pro dan kontra.
Kendati demikian, Fallaci adalah salah satu penulis yang paling dihormati dan dihargai. Para tokoh tidak ragu untuk memanggilnya ke istana mereka untuk mendapat giliran berbicara. Semangatnya tak tertandingi.
Suatu saat, ia berhasil mewawancarai Perdana Menteri Israel Golda Meir yang kontroversial bagi negara-negara yang berkonflik dengan negara zionis itu.
Usai wawancara ia kembali ke Italia dan beristirahat di sebuah hotel di Roma. Ia keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Dan ketika kembali, kamar yang telah dikuncinya tampak disatroni maling. Kaset rekaman suaranya bersama Golda Meir hilang digondol maling.
Polisi Italia yang turun tangan mengonfirmasi kalau pencoleng itu mengarah pada material wawancaranya. Bukan pada harta berharganya yang lain. Oriana pun harus mengirim telegram darurat kepada Golda tentang material wawancaranya yang hilang dicuri dan memohon wawancara ulang. Golda pun memberikan jawaban positif untuk mengulangi wawancara beberapa bulan kemudian.
Tak lama berselang setelah kejadian pembobolan itu, jurnalis dari media kompetitor Italia dipanggil oleh Moamar Khadafi untuk wawancara di Tripoli.
Fallaci membaca laporan dari Tripoli itu. Tampak jelas ada beberapa statement Khadafi yang seolah merupakan jawabannya atas pertanyaan-pertanyaanya kepada Golda Meir.
Ketika Fallaci menanyakan bagaimana pemimpin Libya itu mengetahui pembicaraannya dengan Golda Meir, padahal laporannya belum pernah dipublikasikan, Khadafi tak pernah menjawab pertanyaannya ataupun mengundangnya ke Tripoli.
Dalam tulisannya mengenai Golda Meir, ia menceritakan insiden itu sekaligus mengutuk keculasan Khadafi.
Siapa Oriana Fallaci?