Penulis: Teguh Sugihartono *)
Amsterdam, Wartaeropa.com – Sebelumnya dikisahkan, niatku mendaki Mont Blanc, gunung tertinggi di Eropa Barat, akhirnya kesampaian.
Oleh guide, Xavi dan Boi, kami diajarkan cara ice climbing dan menggunakan crampons (duri-duri yang dipasangkan pada telapak sepatu boots salju).
Hari Rabu 14 Juni 2023, kami berangkat menuju Gran Paradiso. Dari Chamonix kameche oreille otite cuello sin fin a crochet amazon تغيير اسم سماعة البلوتوث sensowash starck f lite lsu store microfono motorola chassis remorque porte moto 24bottles Bonnets saint honore galerie de toit citroen jordan travis jersey terrassenüberdachung jordan travis jersey nike jordan sale doctor sleep ortopéd delux memóriahabos matrac mi berangkat ke tempat parkir Refuge Emanuelle Vittorio II.
Perjalanan ditempuh selama 2 jam melalui terowongan yang menembus Pegunungan Mont Blanc Massief, yang menghubungkan Prancis dan Italia.
Dari tempat parkir kami hiking ke refuge (tempat berlindung/shelter) selama kurang dari 2 jam. Lebih cepat dari perkiraan 3 jam, berdasarkan website Mountain Network.
Kami berhasil memanjat hingga ketinggian 800 meter. Refuge Emanuelle Vittorio II berada di ketinggian 2.735 mdpl. Setibanya di refuge, kami beristirahat dan makan malam bersama.
Hari Kamis 15 Juni 2023, kami bangun sekitar jam 3 pagi. Semalaman aku sulit tidur, karena memikirkan pendakian esok. Meski mulai berbaring dari jam 10 malam, tapi mata ini sulit terpejam.
Ternyata bukan hanya aku yang kesulitan tidur, semua orang di kamarku (kami berempat tidur di tempat tidur susun atau bunk bed) juga mengalami kesulitan tidur.
Perasaan kami sedikit tegang karena ini adalah pendakian 4.000-an meter pertamaku. Kami mungkin hanya sempat tidur 1 – 2 jam saja.
Kendati demikian, kami harus siap melakukan kegiatan berat. Salah seorang anggota tim, Patrick, berkomentar: “What are we doing to ourself ?”
Setelah sarapan, pukul 3 pagi kami mengenakan peralatan masing-masing. Sekitar pukul 3.30 kami berangkat. Keadaan masih gelap dan penerangan hanya mengandalkan headlamp (senter di jidat).
Setelah 1 jam perjalanan kami mulai memasuki area gletser, dan angin terasa menjadi sangat dingin.
Kami berhenti sebentar untuk memakai hard shell (pakaian lapisan luar untuk menahan dinginnya angin). Setelah itu pendakian dilanjutkan.
Selang beberapa jam pendakian, gletser yang dipijak semakin lama semakin naik dan curam saja.
Aku tidak menyangka kalau pendakian Gran Paradiso akan seberat ini. Detak jantungku meningkat cepat.
Aku mulai kesulitan bernapas. Aku sangat kelelahan, dan mulai teringat ibuku yang sudah meninggal. Juga teringat ayahku yang sudah tiada.
Aku teringat dari mana aku datang. Aku, yang terlahir di kota kecil Tasikmalaya Jawa Barat, saat ini sedang melakukan pendakian puncak tertinggi di negara Italia.
Aku bertekad takkan pernah menyerah. Aku tidak akan berhenti sampai berhasil mencapai puncak gunung. Tanpa ada yang tahu, aku sempat menitikkan air mata.
Betapa berat pendakian ini. Meski badan sudah sangat lelah akhirnya aku dan anggota tim berhasil juga mencapai puncak Gunung Gran Paradiso (4.061m), puncak tertinggi di Italia.
Setibanya di puncak, segala rasa lelah di badang mendadak hilang. Yang ada hanya 100 persen kebahagiaan.
Pemandangan di puncak sangatlah indah. Dari sini kami bisa melihat banyak sekali gunung indah di sekitar Gran Paradiso.
Setelah mengambil foto dan video, kami pun turun. Ada beberapa lokasi sangat ekstrim yang kami lewati, namun aku tidak punya waktu untuk merasakan takut. Aku harus konsentrasi dan fokus menempatkan kaki dan tangan pada tempat yang tepat agar aku tidak jatuh.
Kalau aku jatuh, aku akan membahayakan anggota tim lainnya. Pasalnya, kami terikat dalam satu tali (seorang guide dan empat anggota tim).
Jadi kalau satu jatuh, yang lain ikut berjatuhan. Sehingga tidak ada seorang pun yang mau jatuh.
Rasa solidaritas kami begitu tebal, karena itu kami saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Ini yang menjadi alasan mengapa aku sangat menyukai alpinisme (pendakian gunung) ini.
Menuruni gunung Gran Paradiso ternyata tidaklah mudah. Aku tidak bisa turun secepat anggota tim lainnya.
Aku adalah anggota tim paling terakhir mencapai refuge. Untungnya guide Boi sangat bersabar menungguku. Dia mengajariku bagaimana caranya menuruni gletser di lembah gunung, yaitu dengan berjalan layaknya cowboy. Berjalan dengan kaki terbuka lebar.
Aku coba teknik ini, namun tidak mudah. Beberapa kali aku terjeblos masuk ke dalam es. Akhirnya aku pun mencapai refuge.
Sayangnya refuge itu tutup, sehingga kita tidak bisa memesan makanan ataupun minuman.
Dari refuge, kami langsung meneruskan perjalanan turun gunung hingga tempat parkir. Di situ pun aku tetap tertinggal karena yang lain turun dengan sangat cepat.
Guide Xavi agak tidak sabar. Dia menyemangatiku agar turun dengan lebih cepat. “Teguh, ayo coba kamu turun dengan lebih cepat. Ayo, lebih cepat lagi. Ayo, jangan sampai ketinggalan!”
Dia terus mencoba mendorong dan menyemangatiku dari belakang agar aku mempercepat langkahku turun gunung.
Dia bertanya: “Dari skala 0 sampai 8, dimana 8 capai sekali, kamu sekarang kasih nilai berapa ?“ Aku bilang: “Aku capai dengan skala 5.“
Thara, yang berada di belakangku, dalam bahasa Belanda berkomentar kepadaku (agar Xavi tidak mengerti karena Xavi orang Andorra yang tidak mengerti bahasa Belanda): “Jangan kamu kasih tahu dia secara jujur, nanti kamu disuruh lari“.
Namun aku tidak bisa berbohong. Aku selalu diajarkan untuk secara jujur berbicara dari lubuk hati. Aku memang tidak capai skala 8. Aku masih punya energi cadangan. Kalau mau, aku masih bisa berlari.
Namun kehati-hatianku dalam melangkahkan kaki di trek menurun karena turun itu sangat berat untuk lutut.
Ada beberapa orang yang aku kenal dekat mengalami cedera lutut. Aku tidak mau mengalami hal yang sama. Itulah yang membuat aku agak berhati-hati dalam turun gunung.
Anggota tim seperti Marc, juga mencoba melindungiku dengan bilang bahwa kita lah yang menyewa guide itu.
Jangan mau disuruh untuk cepat-cepat turun karena hal itu bisa berisiko cedera. Kalau sudah cedera, siapa yang mau tanggung?