Rupanya liburan musim panas itu adalah cara mereka untuk menyelamatkan diri dari suhu panas. Karena kepala tidak akan mampu berpikir lurus saat udara panas menerpa secara terus menerus.
Kalau pun memakai pendingin, berapa banyak energi yang harus dikeluarkan untuk mendinginkan gedung-gedung sekolah?
Jadi solusinya libur dan orangtua biasanya “menitipkan” anak-anak mereka pada kakek-nenek di kampung. Atau kalau tidak, diikutkan program sekolah musim panas, yang lebih pada program peningkatan skill. Misalnya, sekolah sepak bola, sekolah olah raga (belajar semua jenis sport), sekolah berenang, sekolah menyelam, sekolah bahasa, sekolah berlayar, dan sebagainya.
Biasanya kursus ini diselenggarakan di tepi danau atau pantai. Tempat yang secara iklim lebih nyaman. Meskipun panas, di tempat tersebut ada angin, karena limpahan air di sekitar tempat anak-anak menginap selama beberapa pekan.
Bagus juga strategi ini. Artinya, mereka tak hanya belajar hal eksak dan formal di sekolah, tapi juga punya kesempatan mendalami apa yang menjadi passion dan hobi mereka pada liburan musim panas.
Bagi industri dan pabrik, iklim panas juga terlalu berbahaya. Itu bisa mengakibatkan cedera pada pekerja dan mengakibatkan kerusakan mesin. Puncak musim panas adalah di bulan Agustus. Jadi biasanya ada libur sekitar dua minggu untuk mematikan mesin sekaligus momen untuk perawatan.
Tradisi orang Romawi
Tradisi Liburan adalah sebuah tradisi panjang, buah kearifan lokal orang Romawi dalam menghadapi musim panas.
Bangsa Romawi menciptakan tradisi liburan, sejak ribuan tahun lalu. Mereka bahkan menciptakan kata vaco (latin), yang dijabarkan: I am empty, void. I am free to attend, have time, am not under other obligation. I am idle, at leisure. I am unoccupied.
Kemudian kata ini menjadi vacanza atau vacant, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris:
vacant (adj.) Meaning “characterized by absence of mental occupation”.
Dulu, orang Romawi yang memiliki pangkat, kedudukan dan punya cukup uang, akan memiliki setidaknya satu rumah di kota tempat mereka bekerja dan mencari nafkah, membaktikan diri pada profesi dan menghidupi keluarga. Satu rumah lain di lokasi yang lebih nyaman untuk menghadapi musim panas, misalnya di gunung atau di pantai. Inilah yang menyebabkan maraknya konsep “vila liburan”.
Mereka yang kaya akan tetirah selama setidaknya tiga bulan di musim panas ke tempat yang secara iklim lebih nyaman. Sedangkan mansion atau rumah mewah mereka di kota akan dirawat oleh para budak yang bertugas membersihkan, menjaga, dan menyiapkan rumah saat tuan dan keluarganya kembali ke rumah.
Sektor turisme telah mendarah daging dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Italia. Dalam studi sejarah terbitan tahun 1991, John Towner (Tyne Polytechnic, Inggris) dan Geoffrey Wall (geografer dan dekan untuk Studi dan Riset Pascasarjana, Fakultas Studi Lingkungan, Universitas Waterloo), menyebutkan, kegiatan turisme di dunia, khususnya di Italia, sejatinya berakar dari kebudayaan pada kerajaan Romawi, negara tua yang merupakan cikal bakal Italia.
Argumen mereka, berdasarkan studi pertama yang dianggap paling relevan dengan sejarah pariwisata, yang dilakukan Friedlander (1965), tentang kehidupan dan perilaku masyarakat pada zaman kekaisaran Romawi. Menurut peneliti Jerman ini, orang Romawi yang kaya raya (secara umum tinggal di kota Roma), biasanya memiliki rumah kedua di kawasan teluk Napoli.
Dalam studi yang dilakukan era 1970-an, tren ini menyebabkan tumbuhnya vila-vila dan pembangunan jalan di kawasan teluk Napoli di masa itu.
Tradisi khas bangsa Romawi ini kemudian diketahui oleh orang Anglo-Saxon (Inggris), dan mulai diterapkan juga oleh “kaum the have”.
Secara perlahan mereka mulai paham bahwa ada tempat-tempat yang jauh lebih nyaman di benua lain. Kemudian muncullah tradisi liburan long haul, yaitu dengan menggunakan kapal untuk berlibur ke belahan “dunia baru”.