Bangsa Romawi menciptakan tradisi liburan, sejak ribuan tahun lalu. Mereka bahkan menciptakan kata vaco (latin), yang dijabarkan: I am empty, void. I am free to attend, have time, am not under other obligation. I am idle, at leisure. I am unoccupied.

Kemudian kata ini menjadi vacanza atau vacant, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris:

vacant (adj.) Meaning “characterized by absence of mental occupation”.

Dulu, orang Romawi yang memiliki pangkat, kedudukan dan punya cukup uang, akan memiliki setidaknya satu rumah di kota tempat mereka bekerja dan mencari nafkah, membaktikan diri pada profesi dan menghidupi keluarga. Satu rumah lain di lokasi yang lebih nyaman untuk menghadapi musim panas, misalnya di gunung atau di pantai. Inilah yang menyebabkan maraknya konsep “vila liburan”.

Mereka yang kaya akan tetirah selama setidaknya tiga bulan di musim panas ke tempat yang secara iklim lebih nyaman. Sedangkan mansion atau rumah mewah mereka di kota akan dirawat oleh para budak yang bertugas membersihkan, menjaga, dan menyiapkan rumah saat tuan dan keluarganya kembali ke rumah.

Sektor turisme telah mendarah daging dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Italia. Dalam studi sejarah terbitan tahun 1991, John Towner (Tyne Polytechnic, Inggris) dan Geoffrey Wall (geografer dan dekan untuk Studi dan Riset Pascasarjana, Fakultas Studi Lingkungan, Universitas Waterloo), menyebutkan, kegiatan turisme di dunia, khususnya di Italia, sejatinya berakar dari kebudayaan pada kerajaan Romawi, negara tua yang merupakan cikal bakal Italia.

Argumen mereka, berdasarkan studi pertama yang dianggap paling relevan dengan sejarah pariwisata, yang dilakukan Friedlander (1965), tentang kehidupan dan perilaku masyarakat pada zaman kekaisaran Romawi. Menurut peneliti Jerman ini, orang Romawi yang kaya raya (secara umum tinggal di kota Roma), biasanya memiliki rumah kedua di kawasan teluk Napoli.

Dalam studi yang dilakukan era 1970-an, tren ini menyebabkan tumbuhnya vila-vila dan pembangunan jalan di kawasan teluk Napoli di masa itu.

Tradisi khas bangsa Romawi ini kemudian diketahui oleh orang Anglo-Saxon (Inggris), dan mulai diterapkan juga oleh “kaum the have”.

Secara perlahan mereka mulai paham bahwa ada tempat-tempat yang jauh lebih nyaman di benua lain. Kemudian muncullah tradisi liburan long haul, yaitu dengan menggunakan kapal untuk berlibur ke belahan “dunia baru”.

 

Intervensi alam

Saat ini kapitalisme dan teknologi membuat manusia terlalu banyak mengintervensi alam. Di musim dingin, semua gedung sibuk menyalakan pemanas untuk menghangatkan penghuninya. Demikian juga di pabrik, sekolah, toko, teater, bahkan di kolam renang dan tempat olah raga.

Tak hanya pemanas, lampu-lampu juga dinyalakan untuk memeriahkan pesta musim dingin. Sebuah pemborosan energi yang tidak tanggung-tanggung.

Cobalah anda minta orang-orang Eropa untuk menanggalkan “kenyamanan” ini. Bisa-bisa ngamuk mereka. Mereka lebih memilih menyalahkan negara-negara tropis, dengan argumen sibuk menebangi hutan dan menambang batubara, sebagai pelaku pemanasan global. Mereka tidak mengakui bahwa kertas dan batubara itu kebanyakan diekspor ke Eropa, untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan gaya hidup mereka.

Sementara di musim panas mereka sibuk mengintervensi alam dengan menyalakan mesin pendingin. Di mal-mal mesin pendingin digenjot sampai dinginnya terasa ke luar, di area depan toko mereka.

Semua brand besar harus melayani pembeli dan turis yang berbelanja. Masak iya, para pengunjung dibiarkan merasakan sensasi “masuk mesin pemanggang”, saat mereka belanja barang mewah kala  melancong di Eropa.

Musim panas tahun ini, saya rasakan benar-benar dahsyat. Biasanya mesin pendingin di kamar tidur saya nyalakan saat sebelum tidur sekitar pukul 21.00 sampai tengah, malam kemudian tidur cukup nyaman sampai pagi.

Tapi kemarin saya tak bisa mematikan pendingin, karena udara panas sekali. Bahkan saya keluar rumah dan mencoba cooling down di teras rumah pada pukul 2 dan 4 pagi, untuk sekadar cari angin. Bukannya  angin dingin yang didapat, malah dapat terpaan angin panas.

Betul-betul mati gaya.

Saat gelombang panas melanda, bermain semprotan air jadi kegiatan mengasyikkan. (Foto: Rieska Wulandari)

 

Indonesia dan Italia

Tiga dekade awal hidup saya, saya hidup di Indonesia, terutama di Bandung. Kadang saya merasa bosan menyaksikan acara prakiraan cuaca di televisi, yang suhu udaranya tak berubah. Selama setahun penuh, suhu di Indonesia hanya berkisar pada 18-25°C. Tanpa saya sadari, itulah berkah paling luar biasa dari alam, karena di luar sana orang menghadapi ekstremnya suhu di musim dingin dan di musim panas. Benar-benar ekstrem.

Indonesia sebagai negara kepulauan “menang banyak”, karena iklimnya selalu nyaman. Nyaris tak ada kamus “liburan” di Tanah Air. Secara tradisi tak begitu kental, karena tidak ada urgensinya dalam konteks menghadapi alam. Wong cuacanya enak terus sepanjang tahun. Mau musim hujan atau kemarau, orang-orang masih bisa tinggal di rumah, tanpa harus mengungsi ke vila di luar kota.

Seharusnya kondisi ini menjadi salah satu kelebihan Indonesia dalam menjaring turis mancanegara, yang butuh tetirah panjang saat menghadapi suhu ekstrim di negara asalnya.

Bangsa Indonesia sendiri lebih butuh liburan. Tapi konteksnya berbeda dengan bangsa Eropa, yang melarikan diri dari alam. Bangsa ini perlu liburan untuk mengenali negaranya sendiri. Ada lebih 17.000 pulau yang perlu kita kenali, sebagai cara bangsa ini mencintai Tanah Airnya. Bangsa kita perlu re-orientasi, berlibur di negara sendiri untuk mengenali wilayah dan bangsanya.

Coba bandingkan, berapa banyak orang Indonesia yang pernah ke Pulau Sumba dan Labuhan Bajo. Juga berapa banyak yang pernah ke Pegunungan Alpen, sekadar untuk merasakan salju?

Salam dari Italia, dan saya merasa bersyukur lahir di Indonesia.

*)Renungan musim panas ekstrem 2022, jelang 77 tahun Indonesia Merdeka.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *