Namun akhirnya, penulis yang tadinya hanya bermaksud menjadi penonton, mendadak diminta menterjemahkan lakon yang dimainkan para dalang. Kelompok wayang potehi Gudo dijadwalkan pentas dua kali di Tong Tong Fair, yaitu pada Rabu, 7 September pukul 17.30 dan Jumat, 9 September pukul 16.00.
Pada perjalanan sejarahnya, wayang potehi tidak semulus kisah yang dimainkan. Tak lama setelah grup wayang potehi Fu He Han mendapat tempat di hati warga Jombang dan sekitarnya, Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1967 yang membatasi segala kegiatan yang berhubungan dengan Tiongkok. Keppres tersebut menjadi ‘tiket kematian’ bagi wayang potehi.
Baru pada masa pemerintah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lewat Instruksi Presiden No 6 Tahun 2000 membebaskan masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya dan menyatakan bahwa budaya Tionghoa telah menjadi bagian dari budaya nasional Indonesia.
Meski begitu, tidak mudah bagi wayang potehi untuk bangkit kembali. Tonny Harsono, sebagai salah seorang cucu Tok Su Kwei pun merasa prihatin dengan kondisi wayang potehi yang dirintis mendiang kakeknya. Tonny, pengusaha emas di Jombang, perlahan lahan menghidupkan kembali semarak wayang potehi.
Berawal dengan mengumpulkan wayang tua yang tersebar dimana mana dan membeli wayang potehi baru buatan pengrajin beserta alat musiknya. Secara finansial dia juga membantu apapun yang dibutuhkan agar grup wayang potehi di Gudo bisa bangkit kembali.
Niat baik Tonny sebagai “maesenas” atau patron ternyata mendapat sambutan baik dari beberapa perusahaan besar, diantaranya Marimas. “Perusahaan ini bersedia membantu grup wayang potehi Gudo diantaranya dengan menyediakan kendaraan agar kelompok wayang Gudo bisa berkeliling untuk pentas dengan mudah,” kata Tonny kepada Kabarbelanda.com.