Penulis: Krisna Diantha
Wartaeropa – Pertengahan Februari 2023. Musim dingin Eropa sedang berada di puncaknya. Jika tidak ada keperluan mendesak, lebih nyaman duduk di depan perapian rumah ketimbang di jalanan.
Tapi berbeda dengan 16 Februari lalu. Seperempat penduduk kota terbesar di Swiss Tengah itu, sudah bangun sejak pukul 02.00 dinihari. Begitu juga kami.
Meskipun mata masih terasa berat, saya, Donat dan Lina, menyiapkan diri. Kostum sudah dikenakan, hanya make up yang masih harus dikerjakan.
Hari itu memang hari khusus. Tagwach des Fasnachts, alias permulaan karnaval tahunan terbesar di Swiss.
Kami harus bangun pagi, sibuk menyiapkan diri, jika tidak ingin ketinggalan. “Bedanya dengan karnaval di tempat lain, di sini penonton juga ikut berdandan,” kata Donat.
Kami tiba di tepi Telaga Lucerne pukul 04.00. “Masih sejam lagi. Sebaiknya kita jalan jalan, agar tidak kedinginan,“ kata Donat. Maklum, di suhu minus jika badan tidak digerakkan, dinginnya lebih berasa menusuk tulang.
Kota Lucerne sudah bangun sejak pukul 03.00. Lalu lalang orang-orang berkostum aneka ragam hilir mudik. Rombongan Guggemusik juga tampak terlihat. Namun semuanya tidak ada yang bersuara. Semua diam. Menunggu. Sesekali memandang terus ke tengah telaga keempat terbesar di Swiss ini.
Setengah jam sebelum pukul 05.00, tampak titik putih bergerak perlahan mendekat dari tengah telaga. “Itulah kapal Bruder Fritschi dan kawan-kawannya,“ kata seorang ibu kepada anaknya.
Fridolin atau Bruder Fritschi adalah figur utama karnaval ini. Ada yang menyebutkan, nama ini dipakai ketika Swiss mengalahkan tentara kekaisaran Austria pada 4 Maret 1446. Waktu yang sama ketika Santo Fridolin lahir. Kemenangan perang di Ragaz ini atas bantuan tentara Lucerne.
Bruder Fritschi digambarkan sebagai laki-laki berjenggot dengan kostum yang didominasi warna biru putih, warna kota Lucerne. Tampangnya tidak lagi seperti orang suci, tapi lebih ke arah muka gembel.