Penulis: Krisna Diantha

Wartaeropa.com – JIKA anda bosan dengan kota Paris, melipirlah sedikit ke utara. Ada Auvers, desa asri di tepi sungai Oise. Desa berjarak satu jam dari Paris itu bisa mengubah anda dari turis menjadi peziarah.

Anda tak perlu antri berjam-jam seperti masuk Louvre, Pumpidou atau saat memanjat pucuk Eifell.

Di Auvers, tak sampai sampai lima menit, anda sudah bisa masuk ke sebuah kamar kusam yang menjadi saksi bisu kematian seorang pelukis eksentrik.

Auvers, desa tempat Vincent Van Gogh menjemput kematiannya. Hanya satu jam dari Paris Prancis. (Foto: Krisna Diantha)

 

Dibunuh atau bunuh diri, biarlah pemujanya berlarut-larut menggunjingkannya. Yang pasti, kamar beratap miring di lantai dua itu dibiarkan apa adanya. Cat dindingnya mengelupas, lantai kayunya gemertak, kursi kayunya juga lapuk digerogoti waktu.

Pengunjungnya tidak banyak, namun terpilih dengan sendirinya. Ada yang terpekur syahdu, banyak pula yang tiba-tiba meneteskan air mata.

“Orang ke mari untuk melihat kehidupan terakhirnya. Tapi sebenarnya mereka melihat dirinya sendiri,“ kata seorang penduduk setempat.

Penghuni kamar itu bernama Vincent William Van Gogh, pelopor impressionisme yang tidak sempat menikmati buah manis karya-karyanya.

Jika atmosfir kamar itu dibiarkan apa adanya, semua tidak lepas dari gagasan pemiliknya, Dominique Charles Janssen.

“Tak ada yang perlu dilihat di situ. Cukuplah kalian merasakannya,” kata Janssen.

Auvers posisinya dikepung sungai Oise.  Bisa satu jam dicapai dengan kereta. Dengan bermobil tentu bisa lebih cepat lagi. Warta Eropa memilih opsi yang pertama.

Gereja Auvers. (Foto: vincentvangogh.org)

 

Desa ini menjadi tetirah terakhir bagi Vincent. Meski terbilang singkat tinggal di sini, Vincent si Jenius itu justru menetaskan paling banyak lukisan.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *