Penulis: Rieska Wulandari
Milan, Wartaeropa.com – Saat orang-orang kebanyakan berpendapat bahwa karya seni itu harus nyata dan indah, seorang seniman Italia bernama Salvatore Garau malah menampilkan karya tak kasat mata yang diberinya judul: Io Sono (I am atau Aku).
Tak tanggung-tanggung, karya Garau ini ditawarkan dengan harga 6.000 sampai 9.000 euro (sekitar Rp 102.500.000 – Rp 153.800.000).
Tawaran harga setinggi itu alih-alih menuai tertawaan, malah jadi rebutan dari para penawar. Kini harganya sudah membengkak jadi 15.000 euro atau sekitar 18.000 USD (Rp 255.700.000).
Menurut Garau, konsep tak kasat mata ini menampilkan void, yakni tak ada tapi ada, karena meski sesuatu tak terlihat, ada energi di dalamnya.
Konsep “suwung” (hampa, kosong) bagi masyarakat purba kita sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Konsep ini sudah ada sejak masyarakat Nusantara belum mengenal agama.
Suwung adalah konsep spiritualisme orang-orang dari cincin gunung api, yang memahami bahwa semesta adalah Tuhan, tak terlihat tapi nyata ada.
Pemahaman ini muncul dari karakter orang-orang purba yang juga observer, memahami fenomena dan rahasia gerakan alam, dari ketiadaan bisa mendatangkan kekuatan: menghidupkan atau mematikan.

Orang Jawa, melalui dalang, selalu mengawali cerita wayangnya dengan gunungan.
Mengapa? Karena itulah esensi kekuatan, sumber kesuburan sekaligus kematian, sumber kebahagiaan sekaligus nestapa, mereka yang survive dari kawah candradimuka amukan sang gunung, jadi pengamat sekaligus saksi: gunung adalah sang berkah, juga sang sapu jagat.
Menangkap esensi yang ada namun tiada ini, kemudian diterjemahkan dalam laku spiritual, menghayati bahwa yang tiada Itu adalah semesta dan semesta adalah energi dan energi adalah Tuhan. Sang Hyang.
Maka tak mengherankan jika tanah Sunda disebut Parahyangan. Artinya Tanah Sang Hyang.