Oleh Rieska Wulandari *)

ANAK muda di Tanah Air sedang resah. Mereka tak betah diam di negara sendiri, ingin segera hengkang ke luar negeri untuk mencari kesempatan baru. Apa pasal?

Kabarnya karena situasi di dalam negeri memang sedang tidak baik-baik saja. Mirisnya, bukan karena peperangan atau bencana alam yang besar seperti tsunami. Melainkan karena “badai ketidakjujuran dan ketidakadilan” di semua lini, sehingga rasanya tidak ada tempat lagi bagi mereka untuk hidup layak dan berkembang.

Sebetulnya, keputusan ke luar negeri ini, kalau memang disiapkan dengan baik, bukan hal yang buruk-buruk amat. Banyak anak muda di Italia juga melancong ke luar negeri, seperti Amerika Serikat atau Kanada, untuk memulai hidup baru mereka.

Tujuannya: membangun kekuatan finansial, membangun jaringan karier dan pergaulan internasional. Kita tahu standar gaji di Amerika dan Kanada yang beda benua, atau di negara Nordik (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia dan Swedia), misalnya, lebih baik daripada di Italia, meski sesama anggota Uni Eropa.

Keindahan perairan Pulau Komodo, NTT, Indonesia. (Foto: Rieska Wulandari)

Beberapa dari antara mereka, ada yang selamanya bermukim di luar negeri. Tapi setelah pandemi COVID-19 dinyatakan selesai, banyak dari mereka yang kembali pulang.

Apa pasal? Karena ternyata fasilitas kesehatan di Italia sangat baik dibandingkan dengan negara tempat mereka bermigrasi. Atau tidak adanya suasana kekeluargaan dan iklim yang terlalu dingin.

Di Italia, mereka bisa mendapat keseimbangan antara standar kehidupan profesional dan sosial. Sekali lagi, “dalam level tertentu”. Ini kan tergantung ekspektasi dan kepuasan kita juga terhadap hidup.

Soal anak muda Indonesia yang ingin pindah ke luar negeri, saya rasa, bukan karena ingin hidup mewah. Justru sebaliknya, mereka ingin hidup sederhana.

Misalnya, mereka ingin bisa ke kantor dengan hanya berjalan kaki, tanpa perlu bermacet-macet selama 3 jam seperti di Jakarta. Atau bisa baca buku dalam kereta, trem, bus kota atau metro.

Kerbau sisa-sisa Komodo. (Foto: Rieska Wulandari)

Di Indonesia, hal ini hampir tak mungkin dilakukan karena harus berkendara sendiri, entah itu roda dua atau roda empat.

Jadi tidak ada waktu untuk memperkaya otak. Yang ada, energi otak diserap habis oleh stres karena harus menempuh perjalanan 2 jam menuju kantor, saat badan tidak cukup istirahat karena dibayang-bayangi takut kesiangan, sehingga tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Atau alasan lainnya, tidak dibayang-bayangi pertanyaan “kapan nikah?” saat bertemu kerabat di acara silaturahmi keluarga di Hari Raya. Jangan-jangan sesederhana itu.

Di luar negeri, hidup malah bisa lebih sederhana. Misalnya makan siang cukup bawa bekal sendiri. Tapi kalau mau beli ke restoran juga bisa. Mau beli roti dingin dari mesin atau supermarket juga bisa. Yang penting cukup nutrisi.

Menelusuri perairan Pulau Komodo dengan kayak. (Foto: Rieska Wulandari)

Yang jelas, di kantor-kantor sini nggak ada yang namanya OB (office boy), yang bisa disuruh-suruh untuk bikin kopi, teh manis, atau membelikan makan siang. Apalagi makan malam pada para staf kantor. Soalnya itu urusan personal masing-masing.

Kalaupun ada petugas kebersihan, ya dia akan fokus pada tugasnya. Kita nggak bisa sembarangan main suruh mereka.

Kenapa anak muda Indonesia yang ingin pindah ke luar negeri tampaknya dinyinyiri, seolah-olah mereka ini anak manja yang ingin menikmati hidup?

Ingat ya. Fasilitas kemanjaan di Tanah Air itu berbeda. Misalnya yang bersifat personal seperti tukang ojek yang anda panggil dan bisa mengantar kemana pun anda mau. Juga pembantu yang bisa disuruh apa saja di lingkup domestik, atau OB yang bisa multitasking ini itu.

Di luar negeri, kemudahan personal seperti itu tidak ada. Yang ada adalah kemudahan komunal. Misalnya berbagi apartemen, fasilitas saluran air, gas, listrik, kemudahan akses ke stasiun metro, bus, atau kereta. Dan belakangan, ada bike sharing dan kawasan jalan kaki. Jadi bisa ngantor cukup dengan berjalan kaki.

Tiket fasilitas transportasi publik ini terintegrasi dengan baik, antara bus, trem dan subway. Cukup satu tiket. Kereta super cepat tersambung dengan sistem kereta yang lebih mudah dan ekonomis di stasiun yang sama.

Pulau Komodo yang indah. (Foto: Rieska Wulandari)

Tidak seperti kereta cepat kita, Wh**s, yang setelah turun di stasiun tujuan, kita bingung mau nyambung ke lokasi tujuan. Kayak naik odong-odong aja jadinya, nggak sampai ke lokasi yang kita harapkan.

Tiket di sini juga bisa dibeli secara harian, bulanan, atau tahunan. Karena terintegrasi, harganya pun murah meriah, tidak akan membobol kantong. Jadi kita bisa mengalkulasi pengeluaran per bulan untuk transportasi.

Semiskin-miskinnya kita di Italia, kalau pun nggak punya ongkos, toh masih bisa jalan kaki, karena kota-kota di sini relatif kecil, sehingga bisa dilaju dengan langkah kaki.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *